Kritik Mendalam terhadap Krisis Industri Tekstil Indonesia: Perlukah Solusi Jangka Panjang?
Opini : Arif Rahman Tambunan
Mahasiswa STEBI Batam
Industri tekstil Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan yang besar, tercermin dari gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang melanda sektor ini. Dalam beberapa bulan pertama tahun 2024 saja, sekitar 13.800 pekerja tekstil terkena PHK, dengan perusahaan-perusahaan besar seperti PT Alenatex di Bandung dan beberapa anak perusahaan grup Sritex di Jawa Tengah menjadi korban terbaru.
Pemutusan hubungan kerja dalam skala besar-besaran tidak hanya menunjukkan kondisi finansial perusahaan yang rapuh, tetapi juga menyoroti ketergantungan industri ini pada orderan yang lesu. Kondisi ini menggambarkan kerentanan sektor manufaktur Indonesia yang padat karya terhadap fluktuasi pasar global dan lokal. Dalam konteks ini, perlu dikritisi seberapa jauh upaya pemerintah dalam mendorong ketahanan ekonomi dan keberlanjutan industri.
Salah satu alasan utama melemahnya industri tekstil Indonesia adalah tingginya penetrasi produk impor, terutama dari China. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir terdapat upaya untuk mengatur pasar melalui berbagai kebijakan, seperti Kawasan Berikat dan Free Trade Zone, fakta bahwa impor tekstil yang tidak terkendali tetap menghantui pasar domestik. Kebijakan perdagangan yang kurang menguntungkan bagi produsen lokal menjadi sorotan, dengan dampak langsung berupa persaingan yang tidak sehat dan penurunan pesanan bagi produsen lokal.
Pandemi COVID-19 telah memperburuk situasi ini dengan menyebabkan gangguan signifikan terhadap rantai pasok global. Namun, lebih dari sekadar pandemi, penyebab utama dari melemahnya daya saing industri tekstil Indonesia adalah kelemahan struktural dalam hal biaya produksi, infrastruktur logistik yang kurang efisien, dan kebijakan tenaga kerja yang tidak mendukung. Hal ini tercermin dari komentar Yusuf Rendy Manilet dari Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, yang menyoroti perlunya restrukturisasi ekosistem industri manufaktur secara menyeluruh.
Untuk mengatasi krisis ini secara berkelanjutan, dibutuhkan langkah-langkah strategis jangka panjang diantaranya Evaluasi ulang terhadap kebijakan impor dan subsidi untuk industri domestik perlu dilakukan secara ketat. Perlindungan pasar domestik dari serbuan produk impor yang tidak sehat perlu diperkuat dengan hambatan tarif yang memadai.
Pemerintah perlu meningkatkan investasi dalam infrastruktur logistik yang mendukung, serta mendorong riset dan pengembangan dalam teknologi produksi tekstil yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Peningkatan produktivitas buruh harus disertai dengan upah yang kompetitif dan kondisi kerja yang layak. Perlindungan terhadap hak-hak pekerja harus diperkuat untuk mencegah eksploitasi dan PHK yang tidak manusiawi.
Mendorong ekspansi pasar ekspor ke negara-negara potensial seperti di kawasan Afrika dan Eropa perlu didorong. Ini memerlukan diplomasi ekonomi yang kuat dan strategi pemasaran yang efektif.
Industri tekstil Indonesia, yang pada masa lalu telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional, kini menghadapi krisis yang serius. Tantangan ini tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sosial dengan dampak PHK massal yang meningkatkan tingkat pengangguran dan mereduksi daya beli masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, industri, dan masyarakat untuk menciptakan transformasi yang diperlukan dalam industri manufaktur, termasuk tekstil. Hanya dengan langkah-langkah yang berani dan komprehensif, Indonesia dapat menghadapi tantangan ini dengan kuat dan menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.