Cetak Sejarah, Serba Pertama dalam indikator Angka Kemiskinan Kabupaten Lingga 2024. Apa Selanjutnya?

Diterbitkan oleh Redaksi pada Kamis, 1 Agustus 2024 06:18 WIB dengan kategori Lingga Opini dan sudah 1.853 kali ditampilkan

By. A Hidayat, bekerja di Instansi Pemerintah

BPS Kabupaten Lingga baru saja merilis Berita Resmi Statistik (BRS) terbaru terkait kemiskinan di tahun 2024. Mulai tahun ini, rilis angka kemiskinan tingkat kabupaten/kota dimajukan tiga bulan lebih cepat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Merujuk rilis data tersebut, didapati informasi bahwa Kabupaten Lingga memperoleh hasil yang terbilang sensional diantaranya, untuk pertama kali tingkat kemiskinannya menembus level single digit, dibawah angka 10 persen, tepatnya 9,99 persen, turun signifikan dari 11,26 persen di tahun 2023. Demikian halnya dengan jumlah penduduk miskin yang juga perdana tembus dibawah 10.000 orang pada tahun 2024 atau persisnya 9.023 orang, menyusut dari 10.176 orang pada tahun sebelumnya. Seolah tak mau ketinggalan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan juga turun dari 1,6 di tahun 2023 menciut hingga 1,25 pada tahun ini, artinya rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung mendekati garis kemiskinan atau ke arah yang lebih baik. Selain itu, pengurangan tingkat kemiskinan kali ini menjadi yang kedua secara beruntun dimana besaran tingkat penurunannya menjadi yang tercepat diantara daerah tingkat dua lainnya di Kepulauan Riau, masing-masing -2,79 persen periode 2022-2023, dan -1,27 persen periode 2023-2024. Suatu capaian yang patut mendapat apresiasi, mengingat sejak pertama kali didiseminasikan pada tahun 2005, inilah raihan terbaik angka indikator terkait kemiskinan di Negeri Bunda Tanah Melayu hingga saat ini. Selain itu, dapat dikatakan paling tidak ini merupakan bukti keberhasilan dari serangkaian upaya keras pemerintah baik pusat dan daerah dalam program penanggulangan kemiskinan. Apalagi diperkuat dengan kenyataan bahwa “rekor-rekor” tersebut diukur berdasarkan standar Garis Kemiskinan yang meningkat sampai 4,06 persen dari Rp540.936,-/kapita/bulan menjadi Rp562.906,-/kapita/bulan dalam kurun waktu setahun terakhir.

 

Dengan tidak mengesampingkan euphoria dari mengkilapnya capaian diatas, kita perlu lebih bijak menanggapi berbagai perubahan angka pada indikator kemiskinan tersebut.

Pertama, meskipun jumlah sudah menurun tapi secara absolut penduduk yang masuk dalam kategori miskin masih cukup besar, lebih dari 9.000 jiwa. Angka ini belum ditambah dengan penduduk yang masuk dalam kategori “hampir miskin”. Kita patut khawatir terhadap kategori ini karena mereka sangat rentan terhadap kemiskinan. Salah satu penyebab yang kerap menjadikan seseorang jatuh miskin adalah guncangan pendapatan. Penduduk rentan miskin sering kali mengalami kondisi pendapatan yang tidak aman (income insecurity), sehingga shock kecil saja dapat dengan mudah menyebabkan mereka terjerembab ke dalam kemiskinan, seperti karena perubahan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan. Sebagai contoh di Kabupaten Lingga, kehadiran pandemi Covid-19 ditahun 2020-2021, spontan memutus tren penurunan kemiskinan selama lima tahun beruntun dari 2015-2019. Pemulihan di masa akhir pandemi diperumit dengan peralihan bahan bakar minyak dari premium ke pertalite pada akhir tahun 2021 yang berdampak terhadap kenaikan harga barang dan jasa sehingga kemiskinan ditahun 2022 kembali terkerek naik. Total, tiga tahun berturut-turut indikator kemiskinan daerah kita memburuk.

Karena keterbatasan data dan informasi yang tersedia untuk tingkat kabupaten/kota, perkiraan besarnya penduduk dalam kategori rentan dapat kita padankan dengan pernyataan mantan Menteri Keuangan era Kabinet Kerja berikut : "Kelompok di bawah garis kemiskinan saat ini 10 persen, dan ada kelompok kedua yaitu kelompok rentan miskin dan expiring middle class itu 67 persen dari jumlah penduduk. Nah kemudian di atasnya kelas menengah dan kelas atas" kata Bambang Brodjonegoro, dalam Peluncuran Buku 25 Tahun Kontan secara virtual, Minggu (24/10/2021). Penduduk dengan kategori rentan miskin disematkan bagi mereka yang pendapatannya diatas garis kemiskinan namun belum mencapai kategori kelas menengah. Angkanya ternyata cukup mencengangkan, lebih dari enam kali jumlah penduduk miskin saat itu.

 

Kedua, menurunnya angka kemiskinan, baik dari sisi persentase maupun jumlah pada tahun 2024 terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia baik jenjang provinsi dan kabupaten/kota. Rentang waktu pelaksanaan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) sebagai sumber data utama kemiskinan, yang bergeser dari periode bulan Maret pada tahun-tahun sebelumnya, beralih menjadi tanggal 19 Februari-9 Maret 2024. Pergeseran dimaksudnya untuk menghindari pencacahan pada bulan puasa untuk menghindari bias dalam perubahan pola konsumsi rumah tangga sampel. Di sisi lain, cairnya beragam bantuan sosial diawal tahun menjelang Pemilu seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Pangan Beras, dan BLT Mitigasi Resiko Pangan, serta ditambah bonus “bantuan bermotif politik” dari para caleg yang bertarung dalam pesta demokrasi lima tahunan menjadi “blessing in disguise”. Ditengarai rangkaian kejadian tersebut berperan besar dalam menjaga daya beli dan performa konsumsi para penerima manfaat menjadi lebih baik, jika dibandingkan waktu pendataan tahun sebelumnya. Sehingga akan muncul anggapan “bagusnya” angka kemiskinan kali ini terkesan tidak natural, karena masa pembagian bansos dan “varian”nya yang berdekatan dengan pelaksanaan survei. Namun apapun itu, ibarat pada pertandingan sepakbola, meskipun dalam proses terjadinya gol pencetak skor ternyata sebenarnya dalam posisi offside atau melakukan sesuatu yang tricky, tapi wasit tetap mengesahkan sebagai gol, maka gol resmi tercatat. Sisanya biarlah menjadi perdebatan tak berujung antara pihak yang pro dan kontra.

Dipandang dari sudut pandang yang lain, nampaknya berbeda dengan taraf Negara yang realisasi belanja bansosnya pada APBN naik signifikan dari Rp 97,15 trilyun di tahun 2015, meningkat ke Rp 202,53 trilyun di tahun 2020 (tertinggi sepanjang sejarah karena pandemi) dan berdasarkan alokasi 2024 pagunya berkisar Rp 157,3 trilyun (tertinggi diluar kondisi pandemi), namun sepertinya tidak banyak berdampak terhadap penurunan tingkat kemiskinan nasional baik dalam 5 maupun 10 tahun terakhir, pembagian bansos di Kabupaten Lingga, terutama dari pusat sepertinya memegang peran yang lumayan vital dalam mempercepat pengentasan kemiskinan, karena mustahil jika mengandalkan belanja daerah, dimana porsi belanja bansos nilainya cenderung terus mengecil, dari segi realisasi, jumlahnya hanya sebesar Rp 16,84 miliar di tahun 2015; Rp6,83 miliar di tahun 2020; dan Rp 423 juta di 2023.  

Series Tingkat Kemiskinan (P0) Indonesia, Provinsi Kep. Riau, dan Kab. Lingga, 2015-2024 (Persen)

 Wilayah

2015

2016

2017

2018

2019

2020

2021

2022

2023

2024

Indonesia

11,22

10,86

10,64

9,82

9,41

12,82

10,14

9,54

9,36

9,03

Kep. Riau

6,24

5,98

6,06

6,2

5,9

5,92

6,12

6,24

5,69

5,37

Lingga

14,95

14,36

13,84

13,55

12,88

13,85

13,93

14,05

11,26

9,99

 

Penurunan Po 2015-2024 (Persen)

Penurunan Po 2020-2024 (Persen)

Indonesia

2,19

3,79

Kep. Riau

0,87

0,55

Lingga

4,96

3,86

 

Ketiga, meskipun telah mengalami perbaikan, namun beberapa catatan harus menjadi perhatian kita bersama. Sajian angka indikator kemiskinan terbaru, tetap menunjukkan Kabupaten Lingga masih yang “terparah” jika disandingkan sesama daerah tingkat dua lainnya di provinsi Bumi Segantang Lada. Dari sisi persentase jumlah penduduk miskin (P0) dan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Kabupaten Lingga masih menjadi yang tertinggi. Demikian pula halnya dengan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin, angkanya juga masih berada dipuncak klasemen. Adapun hal yang bisa menumbuhkan optimisme jika melihat data kemiskinan dua tahun terakhir adalah tren yang menurun dan laju perbaikan angka indikator yang lebih cepat dibanding dengan daerah yang lain.

Wilayah

Jumlah Penduduk Miskin (Orang)

Persentase Penduduk Miskin (P0)

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)

2023

2024

2023

2024

2023

2024

2023

2024

KEP. RIAU

142.503

138.304

5,69

5,37

0,82

0,7

0,18

0,15

Karimun

14.326

13.992

5,95

5,78

0,53

0,99

0,09

0,21

Bintan

9.863

9.174

5,9

5,44

0,68

0,61

0,14

0,13

Natuna

4.304

4.174

5,25

5,04

0,7

0,31

0,14

0,03

Lingga

10.176

9.023

11,26

9,99

1,6

1,25

0,43

0,37

Kep. Anambas

3.077

2.978

6,95

6,67

0,78

0,94

0,12

0,18

Batam

83.085

83.573

5,02

4,85

0,59

0,65

0,13

0,12

Tanjungpinang

17.672

15.390

7,95

6,86

1,18

0,86

0,33

0,14

 

 

Keempat, meningkatnya besaran garis kemiskinan setiap tahunnya juga harus menjadi perhatian, kenaikan garis kemiskinan ini utamanya disebabkan oleh kenaikan harga barang dan jasa yang beredar di masyarakat, atau lebih dikenal dengan inflasi. Garis kemiskinan (GK) merupakan representasi rupiah minimum yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok makanan setara 2.100 kilokalori dan kebutuhan non makanan per kapita per bulan. Inflasi yang tidak dibarengi penambahan sumber pendapatan, bakal melemahkan daya beli, sehingga akan berakibat naiknya tingkat kemiskinan. Kontrol terhadap harga terutama bahan pangan menjadi sebuah keniscayaan. Meskipun secara nominal Garis Kemiskinan Kabupaten Lingga tahun 2024 sebesar Rp562.906,-/kapita/bulan atau Rp18.764,-/kapita/hari terkesan kecil untuk standar hidup di daerah kepulauan, namun nilainya tidak terlalu jauh berbeda dengan standar nasional Rp582.932,-/kapita/bulan atau Rp19.431,-/kapita/hari, yang lebih mengejutkan ternyata GK Kabupaten Lingga merupakan yang tertinggi ketiga setelah Kota Batam (Rp903.960,-/kapita/bulan) dan Kota Tanjungpinang (Rp798.218,-/kapita/ bulan) untuk tataran Provinsi Kepulauan Riau. Dengan standar pengukuran garis kemiskinan yang terlalu “murah” itu, sekilas, data kemiskinan memang terlihat rendah di kisaran satu digit. Namun, pada kenyataannya, masih banyak masyarakat yang tidak berkategori miskin tetapi sebenarnya hidup rentan.

Rupa-rupanya, disamping keberhasilan menurunkan sejumlah angka terkait indikator kemiskinan, Kabupaten Lingga masih dihadapkan oleh persoalan yang cukup pelik terkait dengan kontinuitas program penanggulangan kemiskinan. Juga perlu dipikirkan strategi dan inovasi untuk pintu darurat jika privelese seperti yang terjadi pada tahun ini tidak terulang di masa depan. Jangan sampai kita cepat berpuas diri oleh angka-angka yang sekilas terlihat “on the track” tapi melupakan bahwa ada permasalahan dibalik angka-angka tersebut yang menuntut perhatian. Yang juga tidak kalah penting, adalah program maupun kebijakan penanggulangan kemiskinan apapun tidak akan berjalan dengan baik dan sukses bila tidak disertai dengan empati dan niat ikhlas dari para pemangku kepentingan kepada para penduduk miskin. Semoga capaian impresif ini berkelanjutan, dan makin dipertajam catatannya dimasa yang akan datang.

 

Daik Lingga, 29 Juli 2024