Tumpal Pasaribu, Anggota DPRD Kepri cacat dalam berfikir mengenai politik
Opini Mahasiswa Terhadap Pernyataan Anggota DPRD Kepri Mengenai Peran Mahasiswa dalam Dinamika Politik Pilkada Kota Batam
Opini ini ditulis sebagai tanggapan terhadap pernyataan Anggota Komisi I DPRD Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Tumpal Ari M. Pasaribu, S.E., mengenai keterlibatan mahasiswa dalam dinamika politik Pilkada Kota Batam.
Seperti kita ketahui, belakangan ini banyak terjadi dinamika politik terkait pemilihan kepala daerah (Pilkada), khususnya di Kota Batam. Pilkada Kota Batam dinilai penuh dengan berbagai dinamika, mulai dari aksi demonstrasi mahasiswa yang menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hingga pelaksanaan Pilkada dengan opsi melawan kotak kosong.
Setelah mahasiswa menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai sudut Kota Batam, akhirnya muncul dua pasangan calon (paslon) yang bertarung dalam Pilkada. Hal ini dianggap sebagai respons yang semestinya terhadap keberadaan opsi kotak kosong.
Dinamika politik semakin terlihat ketika mahasiswa, sebagai agen perubahan dan pengontrol keseimbangan kekuasaan, mulai mengeluarkan pendapat kritis terhadap perkembangan politik di Kota Batam. Salah satu momen penting adalah pelaksanaan debat pertama pasangan calon yang diselenggarakan oleh KPU Kota Batam pada 1 November 2024.
Dalam debat tersebut, mahasiswa memberikan kritik terhadap salah satu paslon, yakni Li Claudia Chandra, yang kedapatan menggunakan ponsel selama debat. Tindakan ini menjadi sorotan karena dinilai menggunakan alat bantu yang memungkinkan campur tangan pihak lain. Penulis berpendapat bahwa penggunaan ponsel dalam debat dapat diartikan sebagai upaya memanfaatkan pemikiran orang lain untuk menjawab atau menyusun argumen, yang bertentangan dengan prinsip debat terbuka yang seharusnya murni menggali kemampuan pribadi kandidat.
Pasca kritik tersebut, muncul berbagai pemberitaan yang menyebut bahwa mahasiswa tidak seharusnya berpolitik atau melakukan gerakan yang dinilai merugikan salah satu paslon. Tumpal Ari M. Pasaribu, S.E., menyatakan bahwa mahasiswa sebaiknya tidak berpolitik karena dapat memengaruhi objektivitas proses Pilkada.
Namun, Sahat M. Siburian, seorang mahasiswa, menyampaikan bahwa objektivitas adalah hal penting dalam penyampaian kritik. Ia menekankan bahwa selama tidak ada aturan yang melarang, tindakan kritik merupakan hak setiap individu. Kritik yang objektif justru dapat menjadi cermin bagi pihak terkait untuk memperbaiki diri.
Senada dengan itu, Tumpal juga menyampaikan bahwa pendidikan politik bagi mahasiswa hendaknya bertujuan membangun kesadaran dan mendukung pembangunan bangsa. Ia menegaskan bahwa mahasiswa sebagai harapan bangsa harus menghindari campur tangan kepentingan politis pihak tertentu.
Menanggapi pernyataan tersebut, penulis berpendapat bahwa pandangan Tumpal mengenai politik terlalu dangkal. Politik tidak hanya tentang perebutan kekuasaan, tetapi juga mencakup segala aktivitas masyarakat yang melibatkan pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama. Setiap tindakan, baik aktif seperti demonstrasi maupun pasif seperti berdiam diri, memiliki dimensi politik karena dapat memengaruhi kepentingan orang lain.
Sebagai contoh sederhana, seorang anak kecil yang menangis meminta permen merupakan bentuk upaya politik untuk memenuhi kepuasan batinnya. Begitu pula ketika seorang mahasiswa membeli makanan untuk mengatasi rasa lapar, secara tidak langsung ia membantu kepentingan penjual makanan.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak ada gerakan mahasiswa yang sepenuhnya bebas dari pengaruh politik. Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa mahasiswa terlibat dalam kepentingan politis tertentu. Gerakan mahasiswa, seperti kritik terhadap penggunaan ponsel dalam debat, didasarkan pada logika dan pemikiran kritis, bukan pada kepentingan politik tertentu.
Pernyataan Tumpal yang melarang mahasiswa melakukan gerakan yang dinilai merugikan paslon tertentu justru dapat menghambat mahasiswa dalam menjalankan fungsi kritis mereka. Padahal, kritik yang dilontarkan mahasiswa adalah bagian dari upaya menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah penyalahgunaan wewenang.
Oleh karena itu, penulis berharap Tumpal dapat memperluas pemahamannya mengenai politik sehingga tidak mengesampingkan peran mahasiswa sebagai agen perubahan. Kritik mahasiswa bukanlah ancaman, melainkan kontribusi positif dalam mewujudkan proses demokrasi yang lebih baik.
Opini ini ditulis oleh Jamaluddin Lobang, Mahasiswa Kota Batam