Kasus Hasto dan Peran Mahasiswa: Menakar Konsistensi Penegakan Hukum oleh KPK
Toufik Bin Roi yasin
Mahasiswa Manajemen Bisnis Syariah STEBI Batam
Kasus hukum yang melibatkan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, menjadi sorotan tajam dalam dinamika politik dan hukum di Indonesia. Hasto dituduh terlibat dalam persekongkolan untuk menyuap sejumlah pejabat Kementerian Dalam Negeri untuk memenangkan calon kepala daerah yang didukung partainya dalam Pilkada 2020. Kasus ini, yang melibatkan partai besar, tentunya bukan hanya mengguncang dunia politik tetapi juga menguji konsistensi penegakan hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus ini juga mengundang pertanyaan penting mengenai peran mahasiswa dalam mendorong pemberantasan korupsi dan pengawasan terhadap proses penegakan hukum. Adanya perubahan besar dalam struktur kelembagaan KPK, dari yang sebelumnya independen menjadi bagian dari eksekutif, turut menambah kompleksitas persoalan ini.
Pada dasarnya, kasus Hasto merupakan gambaran kecil dari masalah besar korupsi yang masih merajalela di Indonesia. Korupsi telah merusak berbagai sektor kehidupan masyarakat dan menggerogoti kepercayaan publik terhadap lembaga negara, termasuk KPK. Penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK terhadap para pelaku korupsi seringkali dipandang oleh publik sebagai suatu hal yang tidak konsisten, terutama jika melihat adanya intervensi politik atau lemahnya komitmen para aparat penegak hukum itu sendiri. Sebagai lembaga yang bertugas memberantas korupsi, KPK seharusnya menjadi lembaga yang independen dan profesional, tetapi dengan adanya perubahan Undang-Undang KPK yang mengatur agar lembaga ini berada dalam kendali eksekutif, independensinya sering dipertanyakan.
Dalam perspektif teori Philip Bobbit, yang mengkaji konstitusi dan penerapannya dalam konteks hukum, perubahan status kelembagaan KPK ini seharusnya menjadi bahan refleksi mendalam. Bobbit berpendapat bahwa konstitusi bukan hanya tentang teks yang tertulis, tetapi juga tentang implementasi dan interpretasi atas teks tersebut dalam menghadapi dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Penafsiran perubahan Undang-Undang KPK dalam kerangka sejarah, tekstual, doktrinal, dan struktural mengundang pertanyaan mengenai apakah penguatan KPK dalam struktur eksekutif ini akan benar-benar memperkuat atau justru menghambat efektivitasnya dalam pemberantasan korupsi. Bobbit juga menekankan pentingnya etika dalam penegakan hukum, dimana keputusan hukum yang diambil harus mencerminkan keadilan dan kepercayaan publik, bukan justru memperburuk ketidakpercayaan terhadap lembaga negara.
Di sisi lain, partisipasi mahasiswa dalam pemberantasan korupsi menjadi sangat penting. Sebagai agen perubahan, mahasiswa memiliki posisi strategis dalam menyuarakan isu-isu hukum dan politik yang berkembang, termasuk dalam kasus Hasto dan penegakan hukum oleh KPK. Dalam sejarah Indonesia, mahasiswa selalu menjadi kekuatan yang penting dalam menuntut perubahan sosial dan politik. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pelaku aktif dalam mendorong transparansi, akuntabilitas, dan integritas di dalam kehidupan politik dan pemerintahan.
Sebagai generasi penerus, mahasiswa harus bisa berperan aktif dalam mengawal setiap langkah pemberantasan korupsi, termasuk dalam proses hukum yang dijalani oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kasus besar seperti Hasto. Dalam konteks ini, mahasiswa dapat berkontribusi dengan cara-cara yang konstruktif, seperti melakukan riset mengenai kebijakan anti-korupsi, memberikan edukasi kepada masyarakat tentang dampak korupsi, serta melakukan advokasi untuk memperkuat transparansi dalam penyelidikan dan penuntutan kasus korupsi. Lebih dari itu, mahasiswa harus berperan sebagai pengingat bagi lembaga negara, termasuk KPK, agar tetap konsisten dalam menjalankan tugasnya tanpa intervensi politik atau tekanan dari pihak manapun.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh mahasiswa adalah dengan mendesak KPK untuk memperhatikan aspek "follow the money" dan asset recovery dalam pemberantasan korupsi. Penelitian yang dilakukan oleh Hartanto dkk. dalam jurnal Jurnal Iqtisad menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia sering kali melibatkan kekuasaan politik dan seringkali memanfaatkan celah hukum dalam pencucian uang dan pengalihan aset. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih tegas dan berkelanjutan terhadap pemulihan aset yang berasal dari tindak pidana korupsi sangat penting untuk memastikan bahwa kerugian negara dapat dikembalikan dan tidak ada lagi celah bagi para koruptor untuk menikmati hasil dari tindakan mereka.
Pada saat yang sama, peran mahasiswa dalam mendorong penerapan whistleblowing system di partai politik juga patut diperhatikan. Penelitian yang dilakukan oleh Anis Widyawati dan kawan-kawan di Jurnal Integritas menunjukkan bahwa partai politik sebagai elemen penting dalam sistem demokrasi perlu menerapkan sistem pelaporan yang transparan dan aman untuk mencegah korupsi. Dengan adanya platform seperti SIAPP (Sistem Informasi dan Aduan Partai Politik), masyarakat, termasuk mahasiswa, dapat lebih mudah untuk melaporkan tindakan korupsi yang terjadi dalam partai politik. Keberadaan sistem semacam ini akan memperkuat partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi serta meningkatkan akuntabilitas partai politik yang selama ini dianggap kurang transparan dalam pengelolaan dana dan sumber daya.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, penting juga untuk menekankan bahwa kesadaran masyarakat, terutama generasi muda, tentang bahaya korupsi dan pentingnya budaya antikorupsi harus terus ditumbuhkan. Penelitian yang dilakukan oleh Ni Ketut Dessy Fitri Yanti Dewi dalam Jurnal Ilmu Hukum Sui Generis menggarisbawahi pentingnya pendidikan anti korupsi dalam menumbuhkan budaya antikorupsi di kalangan mahasiswa. Melalui pendidikan yang tepat, mahasiswa dapat memahami tidak hanya dampak dari tindakan korupsi, tetapi juga bagaimana cara-cara efektif untuk mencegahnya. Oleh karena itu, pendidikan formal di Indonesia, terutama di perguruan tinggi, harus menjadi wadah yang strategis dalam membentuk karakter dan pemahaman generasi muda terhadap pentingnya integritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu, mahasiswa juga dapat berperan sebagai pengawas dalam proses penegakan hukum yang sedang berjalan, terutama terhadap kasus-kasus besar yang melibatkan tokoh politik. Sebagai contoh, dalam kasus Hasto, mahasiswa dapat melakukan pemantauan terhadap jalannya proses hukum di KPK, memastikan bahwa tidak ada penyalahgunaan wewenang, dan bahwa setiap individu yang terlibat dalam kasus ini diadili sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Mereka juga dapat mengorganisir forum diskusi atau kampanye yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pemberantasan korupsi dan mendesak agar KPK terus menjalankan tugasnya secara profesional dan independen.
Pentingnya pengawasan masyarakat dan mahasiswa ini sejalan dengan apa yang dijelaskan dalam jurnal Binamulia Hukum oleh Dwi Atmoko dan Amalia Syauket. Mereka menjelaskan bahwa korupsi bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah sosial yang mempengaruhi berbagai lapisan masyarakat. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih komprehensif, yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga masa depan bangsa.
Sebagai kesimpulan, kasus Hasto Kristiyanto yang melibatkan partai besar, serta perubahan kelembagaan KPK yang menjadi bagian dari eksekutif, menggarisbawahi pentingnya konsistensi penegakan hukum di Indonesia. Mahasiswa memiliki peran strategis dalam mengawal proses pemberantasan korupsi dan memastikan bahwa setiap kebijakan dan tindakan hukum yang diambil oleh KPK dan lembaga negara lainnya tetap berpihak pada keadilan dan transparansi. Ke depan, mahasiswa harus lebih aktif dalam berkontribusi pada perubahan sistemik dalam pemberantasan korupsi, baik melalui pendidikan, advokasi, maupun pengawasan terhadap jalannya proses hukum yang ada.