Menjaga Diri di Era Digital: Saatnya Kita Bangkit dari Kebocoran Data

Diterbitkan oleh Redaksi pada Senin, 26 Mei 2025 19:10 WIB dengan kategori Opini Suara Mahasiswa dan sudah 172 kali ditampilkan

Opini

Oleh: Andi Dini Alifiah Azizah

Mahasiswa jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta

 

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia terus dihadapkan pada kenyataan pahit: data pribadi kita bocor, berulang kali. Mulai dari data pelanggan operator seluler, pengguna BPJS Kesehatan, hingga data pemilih pemilu, semuanya pernah menjadi sorotan karena diduga bocor dan diperjualbelikan secara ilegal di dunia maya.

Ironisnya, berita seperti ini sudah menjadi hal yang “biasa”. Kita geram sebentar, ramai di media sosial, lalu perlahan lupa. Hingga kasus serupa terulang kembali.

Saya sempat bertanya-tanya, apakah kita sudah terbiasa hidup dalam situasi darurat privasi? Saya bukan pakar keamanan siber. Saya hanyalah warga biasa pengguna media sosial, pelanggan e-commerce, pemilik akun perbankan digital. Saya mungkin tidak memahami teknis enkripsi atau firewall, tetapi saya sangat paham rasanya tidak aman. Rasanya seperti hidup di rumah yang tidak pernah benar-benar terkunci rapat.

Dari keresahan itulah saya mulai belajar satu hal penting: kita tidak bisa sepenuhnya mengandalkan sistem untuk menjaga kita. Kita juga harus menjadi penjaga bagi diri sendiri.

Kebocoran data bukan sekadar isu teknologi ini soal kesadaran. Kesadaran bahwa hidup kita kini terhubung ke jaringan yang sangat luas, dan setiap klik memiliki konsekuensi. Banyak dari kita dengan mudah memberikan data pribadi tanpa berpikir panjang, demi diskon, hadiah, atau sekadar kemudahan.

Kita mengisi formulir daring, mengunggah KTP, mengirim OTP, tanpa benar-benar tahu ke mana data itu akan pergi dan bagaimana ia akan digunakan.

Satu hal yang saya pelajari dari maraknya kasus kebocoran data: kita tidak bisa lagi hidup dengan mentalitas pasif. Kita harus menjadi warga digital yang sadar, cerdas, dan tangguh. Bukan untuk menakuti diri sendiri, tetapi agar kita tidak terus-menerus menjadi korban.

Saya mulai dari hal sederhana. Berhenti menggunakan satu kata sandi untuk semua akun. Mengaktifkan verifikasi dua langkah. Mempertimbangkan dua kali sebelum mengunduh aplikasi, terutama yang meminta akses ke kontak, kamera, atau lokasi. Saya juga mulai memeriksa izin aplikasi di ponsel, dan mengurangi unggahan informasi pribadi seperti tanggal lahir dan nama ibu kandung di media sosial.

Langkah-langkah itu tampak kecil, tetapi sangat berarti. Sebab, motivasi hidup bukan hanya tentang mengejar mimpi besar, melainkan juga menjaga hal-hal kecil yang penting termasuk identitas digital kita.

Kita hidup di era serba cepat dan instan. Di situlah tantangannya: apakah kita masih bisa menjadi pribadi yang berhati-hati? Apakah kita bisa memilih untuk tidak tergoda oleh segala kemudahan yang menyimpan risiko?

Saya percaya, menjadi cerdas digital adalah bentuk cinta kepada diri sendiri. Ini bukan sekadar soal teknologi, melainkan juga soal integritas, tanggung jawab, dan masa depan. Jika kita tak melindungi diri kita sendiri, siapa lagi?

Memang benar, tanggung jawab utama perlindungan data berada di tangan penyedia layanan. Pemerintah dan perusahaan teknologi memiliki kewajiban besar. Tetapi itu bukan alasan bagi kita untuk pasrah. Justru, kita harus mendorong perubahan dengan menjadi pribadi yang sadar dan aktif.

Kita punya hak, dan kita juga punya suara. Kita bisa menolak jika data kita disalahgunakan. Kita bisa mengedukasi orang-orang di sekitar agar tidak mudah tertipu oleh modus phishing dan pencurian data.

Dan satu hal lagi yang tak kalah penting: jangan remehkan kekuatan pengetahuan. Saat saya mulai membaca artikel tentang keamanan digital, menonton video edukasi di YouTube, dan mengikuti akun-akun yang membahas isu privasi digital, saya merasa lebih berdaya. Saya jadi tahu hak-hak saya sebagai pengguna. Saya juga lebih tenang karena tahu apa yang harus dilakukan jika terjadi kebocoran data.

Saya ingin mengajak siapa pun yang membaca tulisan ini untuk tidak tinggal diam. Jangan tunggu sampai identitasmu disalahgunakan, rekeningmu dikuras, atau reputasimu rusak karena kebocoran data yang tidak kamu sadari. Mulailah hari ini. Mulai dari diri sendiri.

Bangsa yang besar tidak hanya dibangun dari infrastruktur megah dan teknologi canggih. Ia juga dibangun oleh warga yang cerdas dan peduli—termasuk dalam menjaga hak-hak digitalnya. Kita memang hidup di negara yang sistemnya masih jauh dari sempurna. Tapi kita tidak boleh menyerah. Justru di sinilah semangat perubahan itu harus tumbuh.

Mungkin kita tidak bisa menghentikan kebocoran data sepenuhnya. Tapi kita bisa menjadi generasi yang lebih siap, lebih sadar, dan lebih kuat. Ingatlah: data bukan hanya angka. Ia adalah jejak hidup kita. Dan tidak ada yang lebih berharga daripada menjaga hidup kita sendiri.

 

Referensi:

  • Ardi Sutedja, Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), menyatakan bahwa salah satu penyebab utama kebocoran data di Indonesia adalah kurangnya pemahaman pengelola data tentang perlindungan data.

  • Setiadi Yazid, Pakar Forensik Komputer dan Keamanan dari Universitas Indonesia, mencatat bahwa dalam empat tahun terakhir, Indonesia mengalami 80 kasus kebocoran data, yang menunjukkan kurangnya kesadaran masyarakat tentang dampak kebocoran data.