Menanjak Gunung, Menanjak Semangat: Pelajaran Hidup dari Ketinggian
OPINI:
Penulis: Putri Az zahra Suherman
Mahasiswa Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta
Menanjak gunung bukan sekadar aktivitas fisik yang menguras tenaga, melainkan juga perjalanan batin yang sarat makna. Setiap langkah di jalur yang menanjak, terjal, dan terkadang licin, mengajarkan bahwa hidup memang tak selalu mudah atau mulus. Namun seperti halnya pendakian, setiap tantangan dalam hidup pun bisa dihadapi — satu langkah demi satu langkah.
Dalam sebuah wawancara dengan National Geographic, pendaki gunung legendaris Ed Viesturs berkata, “The summit is not the only goal; the process of getting there teaches you resilience, humility, and respect for life” (National Geographic, 2015). Artinya, puncak bukanlah satu-satunya tujuan dalam pendakian. Justru proses menuju ke sana yang penuh tantangan dan keterbatasan adalah bagian paling berharga. Kita belajar tentang ketahanan diri, kerendahan hati, dan bagaimana menghargai kehidupan itu sendiri.
Alam sebagai Ruang Refleksi
Saat berada di tengah hutan, di antara deru angin dan rimbunnya pepohonan, atau kala menyaksikan kabut menggantung di lereng-lereng gunung, kita merasakan keheningan yang tak ditemukan di kota. Gunung memberikan jarak — dari hiruk-pikuk pekerjaan, media sosial, dan segala rutinitas yang kadang membuat kita kehilangan arah.
Banyak pendaki menyebut bahwa berada di gunung membuat mereka bisa "bernapas kembali". Perspektif hidup pun berubah. Menurut sebuah penelitian dalam Journal of Environmental Psychology, interaksi dengan alam terbukti dapat meningkatkan kebahagiaan dan mengurangi stres secara signifikan. Alam, dalam hal ini gunung, menjadi tempat ideal untuk merefleksikan hidup: di mana kita berada, ke mana ingin melangkah, dan apa sebenarnya makna perjalanan ini.
Pendakian sebagai Metafora Kehidupan
Dalam pendakian, ada momen ketika langkah terasa berat, napas tersengal, dan keinginan untuk menyerah muncul begitu saja. Namun kita tahu, untuk mencapai puncak, satu-satunya cara adalah terus berjalan. Begitu pula hidup penuh naik-turun, lelah, dan ragu. Tapi mereka yang terus bertahan dan bergerak maju akhirnya bisa melihat ke belakang dan menyadari betapa jauh perjalanan yang telah dilalui.
Melihat dunia dari ketinggian bukan hanya menghadirkan panorama yang memesona, tapi juga kesadaran bahwa semua perjuangan memang tidak sia-sia. Puncak menjadi simbol pencapaian, namun proses mendakinya adalah cerminan karakter kita.
Nilai-Nilai Kehidupan dari Gunung
Gunung tidak hanya mengajarkan ketangguhan fisik, tetapi juga membentuk karakter dan cara pandang kita terhadap kehidupan. Setidaknya, ada tiga nilai utama yang bisa dipetik dari pengalaman mendaki:
Ketangguhan (Resiliensi):
Gunung tidak menjanjikan kenyamanan. Justru ia menghadirkan berbagai tantangan: cuaca yang berubah-ubah, jalur yang tak terduga, dan keterbatasan fisik. Di sanalah letak pelajaran penting tentang resiliensi — kemampuan untuk bertahan, beradaptasi, dan bangkit dari tekanan. Dalam psikologi, resiliensi merupakan kualitas yang memungkinkan seseorang tetap teguh saat menghadapi kegagalan, kesulitan, maupun ketidakpastian. Pendakian melatih itu semua secara nyata.
Kerendahan Hati:
Berdiri di bawah langit luas, di hadapan gunung yang menjulang, membuat manusia merasa kecil. Namun perasaan kecil itu bukanlah kelemahan. Justru dari sanalah tumbuh kesadaran bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Gunung mengajarkan kerendahan hati dan rasa syukur — bahwa kita hanyalah tamu di rumah besar yang bernama alam.
Kesadaran akan Tujuan Hidup:
Dalam pendakian, kita tak bisa asal berjalan. Kita butuh arah, peta, dan tujuan yang jelas. Begitu pula dalam hidup. Tanpa tahu ke mana ingin melangkah, kita bisa tersesat, berhenti di tengah jalan, atau terus berputar-putar tanpa arah. Gunung mengingatkan bahwa setiap orang perlu memiliki "puncaknya" sendiri — tujuan yang layak diperjuangkan.
Saatnya Kembali ke Alam, Kembali ke Diri
Ketika hidup terasa stagnan, kehilangan makna, atau arah, mungkin sudah saatnya kita kembali ke alam. Tidak harus mendaki gunung tertinggi, yang penting adalah kemauan untuk kembali bergerak, menemukan ritme, dan belajar dari perjalanan.
Gunung tidak pernah menjanjikan kemudahan. Tapi ia selalu menawarkan kejujuran — tentang diri sendiri, tentang batas, dan tentang kekuatan yang kita miliki. Setiap peluh dan lelah pada akhirnya akan terbayar dengan keindahan. Setiap langkah, meski berat, membawa kita lebih dekat pada pemahaman baru tentang kehidupan.
Sebagaimana dikatakan John Muir, tokoh konservasi alam dari Amerika, “The mountains are calling and I must go” (Muir, 1873). Panggilan itu bukan hanya soal fisik, melainkan suara batin — ajakan untuk kembali terhubung dengan alam, dengan diri sendiri, dan dengan tujuan hidup yang mungkin mulai kita lupakan.