Strategi Menangani Cyberbullying di Era Digital

Diterbitkan oleh Redaksi pada Jumat, 30 Mei 2025 11:00 WIB dengan kategori Opini Suara Mahasiswa dan sudah 189 kali ditampilkan

OPINI
Penulis: Kalyca Ninda Nf
Mahasiswa Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta

 

Melawan Cyberbullying: Peran Pendidikan, Kesadaran, dan Dukungan Sosial

Perundungan di dunia maya atau cyberbullying kini menjadi tantangan serius yang tumbuh seiring pesatnya penggunaan teknologi dan media sosial. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan luka psikologis jangka pendek, tetapi juga dapat berdampak panjang, seperti munculnya kecemasan, depresi, bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup. Karena itu, dibutuhkan solusi yang komprehensif terutama melalui pendidikan, peningkatan kesadaran publik, dan penguatan perlindungan untuk mencegah serta mendampingi korban dalam proses pemulihan.

Pendidikan menjadi pilar utama dalam mencegah cyberbullying. Dengan membekali generasi muda yang merupakan pengguna aktif media sosial dengan pemahaman tentang risiko serta dampak dari perundungan digital, mereka akan lebih mampu bertindak secara empatik dan bertanggung jawab dalam ruang daring. Edukasi ini perlu dimulai sejak dini, melibatkan sekolah, keluarga, hingga komunitas digital.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa membangun online resilience atau ketahanan digital pada remaja yakni kemampuan untuk tetap tegar dan berpikir positif saat menghadapi tekanan di dunia maya berkontribusi besar dalam mengurangi kasus cyberbullying. Di samping itu, membentuk karakter seperti empati, rasa percaya diri, dan tanggung jawab sosial juga terbukti efektif dalam menciptakan interaksi daring yang sehat.

Masyarakat pun perlu terus diedukasi agar lebih memahami dampak psikologis yang dialami korban. Dengan demikian, lingkungan sekitar dapat berperan aktif dalam mencegah dan menangani kasus cyberbullying, serta menciptakan atmosfer digital yang lebih aman dan mendukung.

Strategi Pencegahan dan Perlindungan

Untuk mengatasi cyberbullying secara efektif, berikut beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan:

1. Meningkatkan Literasi Digital

Literasi digital bukan hanya soal kemampuan menggunakan perangkat teknologi, tetapi juga mencakup pemahaman akan etika digital, keamanan informasi, serta cara bersikap di ruang maya. Pengguna yang memiliki literasi digital tinggi akan lebih mudah mengenali bentuk-bentuk perundungan, seperti komentar merendahkan, pesan bernada mengancam, atau penyebaran konten pribadi tanpa izin. Mereka juga tahu bagaimana merespons secara bijak, misalnya dengan tidak membalas, menyimpan bukti, atau segera melaporkan. Oleh karena itu, pelatihan literasi digital penting diberikan secara berkala melalui sekolah, komunitas, dan lembaga pemerintah.

 

2. Memanfaatkan Fitur Keamanan di Media Sosial

Setiap platform media sosial memiliki fitur keamanan yang dirancang untuk melindungi penggunanya, seperti Blokir pengguna: untuk menghentikan interaksi dari pelaku, Laporkan konten atau akun: untuk memberi tahu pihak platform tentang perilaku bermasalah. Pengaturan privasi seperti membatasi siapa yang dapat mengirim pesan, memberi komentar, atau melihat unggahan.

Sayangnya, banyak pengguna yang belum menyadari atau belum memahami cara kerja fitur-fitur ini. Sosialisasi melalui tutorial interaktif, infografik, dan kampanye edukatif perlu digencarkan agar pengguna lebih percaya diri dalam menjaga ruang digitalnya tetap aman.

 

3. Mendokumentasikan Bukti Perundungan

Dalam kasus perundungan digital, dokumentasi adalah langkah penting untuk menindaklanjuti secara hukum atau administratif. Korban disarankan untuk mengambil tangkapan layar (screenshot) dari pesan, komentar, atau unggahan yang bersifat merundung. Menyimpan bukti dalam bentuk asli, termasuk tanggal dan waktu kejadian. Mencatat akun atau identitas pelaku bila memungkinkan. Bukti ini dapat digunakan untuk melapor ke pihak sekolah, kepolisian, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), atau layanan pengaduan siber lainnya seperti cybercrime.polri.go.id.

 

4. Mencari Dukungan Psikologis dan Sosial

Korban cyberbullying sering kali merasa malu, takut, atau terisolasi. Oleh karena itu, dukungan emosional sangat dibutuhkan. Keluarga dan teman dekat harus menjadi garda terdepan dalam memberikan empati, mendengarkan tanpa menghakimi, serta memastikan bahwa korban tidak sendirian. Bila perlu, pendampingan dari psikolog, guru BK, atau konselor profesional dapat membantu korban mengelola emosi, membangun kembali kepercayaan diri, dan mengembangkan coping strategy yang sehat.

 

5. Penegakan Hukum dan Kebijakan yang Tegas

Indonesia telah memiliki beberapa payung hukum yang dapat digunakan untuk menangani kasus cyberbullying, seperti UU ITE No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan KUHP Pasal 310-311 tentang pencemaran nama baik.

Namun, implementasi hukum masih menghadapi tantangan dalam hal pelaporan, penyelidikan, dan pemrosesan kasus. Karena itu, kolaborasi antara aparat penegak hukum, penyedia layanan digital, dan lembaga pendidikan perlu diperkuat untuk memastikan proses hukum berjalan efektif dan korban mendapat perlindungan yang layak.

 

6. Menciptakan Ekosistem Digital yang Positif

Pencegahan jangka panjang hanya bisa terwujud jika seluruh lapisan masyarakat aktif menciptakan budaya digital yang sehat. Upaya ini dapat dilakukan dengan menyebarkan konten inspiratif, edukatif, dan memotivasi. Mendorong kampanye anti-bullying di sekolah dan media sosial. Mengembangkan komunitas daring yang inklusif, suportif, dan bebas diskriminasi.

Melibatkan figur publik, influencer, dan kreator konten untuk menjadi agen perubahan.Korban cyberbullying membutuhkan dukungan moral dan motivasi agar tidak terpuruk. Mereka harus diyakinkan bahwa perundungan tidak menentukan nilai diri mereka. Cerita inspiratif dari individu yang berhasil bangkit dapat menjadi penguat dan sumber harapan. Melalui pendidikan dan dukungan sosial yang tepat, korban dapat kembali percaya diri dan berdaya.

Menghadapi cyberbullying di era digital membutuhkan pendekatan menyeluruh yang mengedepankan sinergi antara individu, keluarga, sekolah, pemerintah, dan platform media sosial. Upaya ini tidak hanya soal mencegah, tetapi juga soal menciptakan lingkungan digital yang aman, sehat, dan mendukung. Dengan memperkuat literasi digital, menyediakan perlindungan hukum, serta menanamkan nilai empati sejak dini, kita dapat mewujudkan ruang digital yang lebih manusiawi.


Referensi:

  • BINUS University. (2024). Cara Mengatasi Kasus Cyberbullying yang Sering Terjadi di Indonesia.
  • Ratu AI. (2024). Cyberbullying: Ancaman Nyata di Dunia Maya.