Belajar Bukan Sekadar Urusan Otak, tetapi Juga Hati

Diterbitkan oleh Redaksi pada Ahad, 1 Juni 2025 21:59 WIB dengan kategori Opini Suara Mahasiswa dan sudah 140 kali ditampilkan

OPINI:

Natasyah Aulia Rahman

Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

 

Belajar bukan sekadar proses menyerap informasi atau menuntaskan kurikulum. Di balik setiap hafalan rumus, tulisan tangan di buku catatan, atau tugas yang dikumpulkan tepat waktu, terdapat sisi manusiawi yang sering terlupakan: emosi. Rasa percaya diri, rasa aman, bahkan hubungan hangat dengan guru atau teman sekelas, semuanya memainkan peran penting dalam menentukan apakah pembelajaran benar-benar terjadi atau sekadar menjadi rutinitas kosong. Koneksi emosional yang terjalin dalam proses belajar tidak hanya memperkaya pengalaman, tetapi juga memengaruhi kedalaman pemahaman, motivasi, dan ketahanan mental siswa.

Belajar Bukan Hanya Urusan Otak, tetapi Juga Hati
Sudah sejak lama diketahui bahwa otak bekerja lebih optimal saat seseorang merasa aman dan diterima. Dalam konteks pendidikan, hal ini berarti bahwa siswa yang memiliki hubungan emosional yang baik dengan guru atau lingkungan belajarnya akan lebih terbuka terhadap informasi dan lebih termotivasi untuk mengeksplorasi. Ketika siswa merasa terhubung secara emosional, mereka tidak hanya belajar untuk mengerjakan soal, tetapi juga memahami dunia di sekitarnya.

Guru sebagai Pendamping Emosional, Bukan Sekadar Pengajar
Guru memiliki peran yang jauh lebih dalam daripada sekadar mentransfer pengetahuan. Guru yang mampu membangun koneksi dengan murid—yang melihat murid sebagai individu, bukan sekadar angka atau nilai—akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang emosional dan intelektual. Kata-kata sederhana seperti “Kamu bisa,” atau waktu yang diluangkan untuk mendengarkan keluh kesah siswa, dapat berdampak jangka panjang terhadap semangat belajar mereka.

Lingkungan yang Aman Menumbuhkan Rasa Ingin Tahu
Pembelajaran yang efektif memerlukan rasa ingin tahu, dan rasa ingin tahu hanya dapat tumbuh subur di lingkungan yang aman dan hangat. Siswa yang takut salah, takut dihakimi, atau merasa tidak dihargai cenderung menutup diri dari eksplorasi. Sebaliknya, suasana yang inklusif dan suportif justru mendorong siswa untuk berani bertanya, mencoba, dan gagal sebagai bagian dari proses belajar yang sehat.

Teman Belajar, Teman Bertumbuh
Koneksi emosional tidak hanya terjadi antara guru dan siswa, tetapi juga antar siswa. Saat siswa merasa memiliki komunitas yang saling mendukung, proses belajar menjadi lebih ringan dan menyenangkan. Mereka belajar bukan hanya dari guru, tetapi juga dari dinamika sosial, kerja sama tim, dan pengalaman berbagi. Hal ini memperkuat keterampilan sosial sekaligus meningkatkan kualitas pembelajaran itu sendiri.

Saatnya Pendidikan Menjadi Lebih Manusiawi
Sudah saatnya kita mereformulasi pendekatan pendidikan. Pengetahuan memang penting, tetapi tanpa landasan emosional yang kuat, proses belajar mudah kehilangan makna. Sekolah dan lembaga pendidikan perlu merancang pendekatan yang lebih berpusat pada manusia, dengan empati sebagai fondasi. Evaluasi akademik seharusnya berjalan seiring dengan upaya membangun kesejahteraan emosional siswa.

Teknologi Boleh Maju, tetapi Sentuhan Emosional Tetap Relevan
Di era digital saat ini, teknologi semakin mendominasi ruang belajar dari platform pembelajaran daring hingga kecerdasan buatan yang dapat memberikan umpan balik secara instan. Namun, secanggih apa pun teknologi, ia tidak bisa menggantikan peran emosi dalam proses belajar. Video pembelajaran mungkin dapat menjelaskan materi, tetapi tidak bisa memberi pelukan saat siswa merasa frustrasi. Teknologi adalah alat, bukan pengganti interaksi manusiawi. Justru di tengah derasnya digitalisasi, sentuhan emosional menjadi semakin penting untuk menjaga keseimbangan.

Mengatasi Trauma Belajar Melalui Pendekatan Emosional
Banyak siswa membawa luka tersembunyi dalam perjalanan belajarnya, entah karena pengalaman diejek saat salah menjawab, merasa dibanding-bandingkan, atau mengalami tekanan berlebih dari orang tua maupun sekolah. Trauma ini, jika tidak disadari, dapat membentuk citra diri negatif yang bertahan lama. Pendekatan emosional dari guru dan lingkungan sekolah dapat menjadi jembatan untuk menyembuhkan luka-luka tersebut. Dengan memberikan ruang bagi siswa untuk merasa aman dan diterima, kita membantu mereka memulihkan kepercayaan diri dalam belajar.

Peran Orang Tua dalam Menumbuhkan Koneksi Emosional
Koneksi emosional dalam belajar tidak hanya dibentuk di sekolah, tetapi juga di rumah. Orang tua yang memberikan dukungan emosional, mendengarkan cerita anak tanpa menghakimi, dan hadir sepenuhnya saat anak menghadapi kesulitan belajar, secara tidak langsung menumbuhkan rasa percaya diri dan semangat belajar. Dalam konteks ini, kolaborasi antara guru dan orang tua sangat penting untuk menciptakan ekosistem belajar yang sehat dan suportif.

Mengukur Kesuksesan Belajar dengan Perspektif yang Lebih Luas
Selama ini, keberhasilan belajar sering kali diukur melalui nilai ujian atau peringkat kelas. Padahal, indikator keberhasilan sejati jauh lebih luas: apakah siswa merasa bahagia saat belajar, mampu berpikir kritis, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan tumbuh menjadi manusia yang berempati. Semua itu adalah hasil dari proses belajar yang tidak hanya menyentuh aspek kognitif, tetapi juga afektif. Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang membentuk manusia seutuhnya, bukan sekadar pengisi bangku kerja.

Masa Depan Pendidikan Ada pada Kemanusiaan
Jika kita ingin pendidikan di masa depan menjadi lebih bermakna, maka kita harus memulainya dari hal paling mendasar: memanusiakan proses belajar. Menjadikan ruang kelas sebagai tempat yang hangat, membuka ruang dialog, membangun kepercayaan, dan menjadikan koneksi emosional sebagai fondasi utama. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, melainkan proses tumbuh bersama. Di sinilah masa depan pendidikan terletak, bukan pada seberapa cepat siswa menyelesaikan soal, tetapi pada seberapa dalam mereka merasa terhubung dengan proses belajar itu sendiri.