Laki-Laki Mati dalam Diam

Diterbitkan oleh Redaksi pada Ahad, 1 Juni 2025 10:15 WIB dengan kategori Opini Suara Mahasiswa dan sudah 114 kali ditampilkan

OPINI:

Ricko Aidil Fitrah mahasiswa

Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

 

Laki-laki sering dianggap sosok yang harus kuat, tak mudah goyah, dan tidak boleh menangis. Tapi data terbaru justru menunjukkan kenyataan yang mengkhawatirkan. Dalam periode Januari– Agustus 2024, tercatat 928 kasus bunuh diri di Indonesia, dan 79,64% pelakunya adalah laki-laki setara dengan 714 orang.

Sebagian besar dari mereka berusia 21 tahun ke atas, usia produktif yang seharusnya menjadi pilar keluarga. Lebih dari 85% memilih gantung diri, cara yang dilakukan dalam kesunyian. Tekanan ekonomi (31,79%) menjadi alasan paling dominan, disusul oleh konflik sosial dan pribadi.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Mereka mencerminkan diam yang mematikan. Budaya yang menuntut pria selalu terlihat tangguh justru membuat mereka enggan mencari pertolongan saat mental terguncang. Laki-laki terluka, tapi memilih diam dan diam itulah yang akhirnya membunuh mereka secara perlahan.

Sudah saatnya kita bertanya sampai kapan budaya ini dibiarkan?

 

Maskulinitas yang Menyesakkan

Sejak kecil, laki-laki diajarkan untuk tidak cengeng, tidak mengeluh, dan selalu terlihat kuat. Kalimat seperti “laki-laki itu ga boleh nangis” sudah menjadi doktrin sosial yang diwariskan turun- temurun. Akibatnya, ketika mereka terluka secara emosional, mereka tidak tahu harus bagaimana karena menangis dianggap memalukan, dan mencari bantuan dianggap lemah.


Norma ini menciptakan tekanan luar biasa. Mereka terjebak dalam peran yang tidak memberi ruang untuk jujur pada diri sendiri. Maka tak heran, banyak pria memilih menanggung semuanya sendiri. Sayangnya, diam-diam itu justru bisa berubah menjadi ledakan yang mematikan seperti terlihat dari tingginya angka bunuh diri pada laki-laki.


Data dari DORS SOPS Polri memperlihatkan bahwa pria berusia 21 tahun ke atas mendominasi kasus bunuh diri. Usia yang seharusnya menjadi masa produktif, justru menjadi titik rapuh.
 
Tuntutan ekonomi, tekanan keluarga, hingga ekspektasi sosial membuat mereka kelelahan, tapi tak tahu harus mengadu ke siapa.
Dari 928 pelaku bunuh diri, 714 adalah laki-laki. Kebanyakan dari mereka memilih gantung diri, cara sunyi yang tak membutuhkan banyak perencanaan, hanya satu keputusan tragis yang diambil dalam keputusasaan. Ini menunjukkan bahwa luka mental yang dialami laki-laki tidak bisa dianggap remeh.


Laki-laki juga manusia. Mereka punya batas. Mereka juga butuh didengar dan dipahami. Kita harus mulai menciptakan ruang aman bagi mereka untuk bicara tanpa takut dihakimi, tanpa takut ditertawakan.


Mengubah budaya memang tidak bisa instan, tapi kita bisa memulainya dari hal kecil dalu berhenti mengejek laki-laki yang menangis, berhenti menyuruh teman pria untuk “jangan lebay,” dan mulai bertanya dengan tulus “Lo beneran baik-baik aja?” Karena terkadang, satu pertanyaan sederhana bisa menyelamatkan satu nyawa.

 

Strategi Bertahan Hidup, Laki-Laki Juga Manusia

Masalah mental bukan tanda kelemahan. Ia adalah sinyal dari tubuh dan pikiran bahwa kamu perlu jeda, bukan menyerah. Berikut beberapa langkah sederhana namun bermakna yang bisa kamu lakukan untuk tetap bertahan dan menemukan harapan.


1.    Validasi Emosi, Bukan Menekannya

Merasa lelah, bingung, bahkan hancur adalah hal manusiawi. Jangan paksa diri untuk selalu “baik- baik saja.” Akui perasaanmu. Menyadari emosi adalah langkah awal menuju pemulihan.

2.    Ceritakan, Sekecil Apa Pun

Buka ruang bicara. Mulailah dari orang yang kamu percaya teman, pasangan, saudara. Tak harus panjang. Satu kalimat jujur seperti “Gue lagi stress banget ini” bisa jadi pembuka untuk meringankan beban.

3.    Ini Bukan Kompetisi ‘Siapa Paling Tangguh’

Kehidupan bukan lomba kuat-kuatan. Fokus pada kesehatanmu, bukan pada pencitraan. Ingat, tidak ada piala untuk pria yang paling pandai menyembunyikan luka.
 
4.    Buat Rutinitas Sederhana yang Menenangkan

Makan cukup, tidur cukup, dan luangkan waktu untuk hal-hal kecil yang kamu sukai olahraga ringan, menulis, mendengarkan musik, atau berjalan kaki. Kesehatan mental seringkali membaik lewat langkah kecil yang konsisten.

5.    Konsultasi Itu Bukan Aib

Datang ke psikolog bukan berarti kamu gila. Justru itu bukti kamu ingin pulih. Jika dirimu layak diperjuangkan, maka mintalah bantuan profesional saat kamu merasa tak mampu menanggung sendiri.

6.    Bangun Ruang Aman di Sekitarmu

Jadilah teman yang bisa mendengar tanpa menghakimi. Dan jika kamu sedang dalam kondisi stabil, bantu buka ruang bagi pria lain untuk bicara. Suara yang kamu keluarkan hari ini bisa menyelamatkan seseorang esok hari.


Jangan tunggu sampai kamu merasa benar-benar hancur baru bicara. Jangan tunggu sampai lubangnya terlalu dalam baru minta ditarik. Karena kamu berharga. Karena kamu penting. Karena kamu juga berhak bahagia meski kamu laki-laki.