Membangun Hubungan Positif Lewat WhatsApp: Mungkinkah?
OPINI:
Khaylila Safitri
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Di era serba digital, hubungan antarmanusia semakin sering terjalin melalui layar. WhatsApp, aplikasi percakapan sejuta umat, telah menggantikan banyak momen tatap muka. Namun, bisakah hubungan yang positif, sehat, dan tulus tetap terbangun hanya melalui pesan teks?
Sebagian orang bersikap skeptis. Mereka merasa percakapan melalui teks terasa dingin, minim emosi, dan rawan salah paham. Namun, hubungan positif tidak bergantung pada media komunikasi, melainkan pada niat dan kualitas interaksi. Bahkan melalui pesan teks sekalipun, hubungan dapat tumbuh subur jika kita tahu cara merawatnya.
Salah satu tantangan terbesar dalam komunikasi melalui pesan singkat adalah hilangnya ekspresi wajah, nada suara, dan gestur tubuh. Namun, ini bukan alasan untuk menjadikan percakapan terasa kaku dan datar. Mengutip psikolog Dr. Albert Mehrabian, komunikasi manusia memang 93% bersifat nonverbal. Namun, bukan berarti teks tidak dapat “berbicara”.
Kita dapat menyisipkan perhatian melalui detail kecil, seperti mengetik dengan rapi, memberi jeda sebelum membalas agar tidak terkesan tergesa-gesa, atau menambahkan emoji. Kesan “hadir” tetap bisa dirasakan jika kita menghadirkan empati dalam setiap pesan.
Jangan Hanya Menghubungi Saat Membutuhkan
Salah satu kesalahan umum dalam berkomunikasi adalah hanya menghubungi seseorang saat membutuhkan sesuatu. Hal ini menjadikan relasi terasa transaksional. Mengutip Verywell Mind, hubungan yang sehat ditandai dengan komunikasi yang konsisten, bukan hanya saat diperlukan.
Karena itu, sesekali cobalah untuk mengirim pesan tanpa agenda. Misalnya, menanyakan kabar, mengirim foto lucu, atau membagikan lagu favorit. Hal-hal kecil semacam itu menjadi sinyal bahwa kita peduli, bukan hanya “muncul” saat ada kepentingan.
Kesalahpahaman sering kali terjadi karena kita keliru membaca maksud pesan. Maka, penting untuk memiliki social sensitivity saat berkomunikasi lewat teks. Menurut Harvard Business Review, kepekaan sosial adalah kemampuan membaca isyarat halus dalam interaksi, termasuk yang terjadi secara daring.
Contohnya, jika seseorang membalas dengan singkat, bisa jadi mereka sedang sibuk atau lelah bukan marah. Memahami konteks, membaca pola, dan tidak langsung bereaksi negatif merupakan kunci untuk mencegah konflik yang tidak perlu.
Salah satu cara sederhana membangun kedekatan melalui WhatsApp adalah dengan memberikan sapaan ringan secara rutin. Tidak harus setiap hari, cukup menunjukkan bahwa hubungan tersebut masih dijaga. Sapaan seperti “Semangat, ya, hari ini!” atau “Sudah makan belum?” mungkin terdengar sepele, tetapi memiliki makna kehangatan yang besar bagi penerimanya.
Selain itu, komunikasi positif juga bisa dibangun dari cara kita merespons. Misalnya, membalas dengan antusiasme menggunakan tanda seru, emotikon yang tepat, atau sekadar ucapan terima kasih. Hal-hal kecil seperti itu membuat percakapan terasa hidup dan bukan sekadar formalitas.
Mengirim pesan suara (voice note) juga dapat menjadi alternatif menarik, apalagi untuk menyampaikan cerita panjang atau emosi tertentu. Nada suara mampu menghadirkan nuansa yang tidak dapat dituliskan. Ini membantu menghindari kesalahpahaman dalam komunikasi.
Menunjukkan ketertarikan terhadap hobi atau minat lawan bicara juga dapat mempererat hubungan. Misalnya, menanyakan kabar kegiatan favoritnya atau membagikan konten yang relevan. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi yang terjalin bukan sekadar basa-basi, melainkan bentuk perhatian yang tulus.
Penting juga untuk tidak hanya berfokus pada diri sendiri dalam percakapan. Memberi ruang kepada orang lain untuk bercerita, mendengarkan dengan sabar, dan tidak langsung membalas dengan pengalaman pribadi adalah cara menjaga keseimbangan komunikasi dua arah. Hubungan yang sehat lahir dari sikap saling mendengarkan, bukan dominasi satu pihak.
Dalam grup WhatsApp, hubungan positif dapat dijaga dengan tidak mengirim pesan yang menyinggung, spam, atau menyudutkan pihak tertentu. Sopan santun di dunia digital sama pentingnya dengan etika di dunia nyata. Bahkan, membalas ucapan ulang tahun atau memberi dukungan di obrolan grup pun merupakan bentuk kepedulian.
Jika terjadi perbedaan pendapat, cobalah menyelesaikannya secara pribadi dan dengan kepala dingin. Jangan biarkan perbedaan membesar hanya karena kesalahan tafsir dalam teks. Menjaga emosi dan memilih kata-kata yang tepat dapat menghindarkan kita dari konflik yang tidak perlu.
Mengetahui waktu yang tepat untuk menghubungi seseorang juga merupakan bentuk empati. Hindarilah mengirim pesan panjang di malam hari atau ketika lawan bicara diketahui sedang sibuk. Perhatian terhadap waktu adalah bentuk penghormatan terhadap ritme hidup orang lain.
Terkadang, diam juga merupakan bentuk komunikasi yang bijak. Tidak semua hal perlu segera ditanggapi. Memberi waktu untuk merenung, menenangkan diri, atau menghindari debat yang tidak penting dapat membantu menjaga kualitas hubungan tetap baik, meski hanya melalui pesan singkat.
Chatting Tak Harus Dingin
Chatting memang serba cepat dan praktis, tetapi bukan berarti harus kehilangan kehangatan. Hubungan positif tetap bisa terbangun melalui WhatsApp, asalkan kita mau menghadirkan empati, menjaga etika komunikasi, dan tidak melupakan esensi relasi itu sendiri: saling hadir dan saling memahami.
Etika komunikasi merupakan kunci penting. Menghindari penggunaan huruf kapital berlebihan yang terkesan berteriak, menggunakan tanda baca secara tepat, serta memilih kata-kata yang tidak multitafsir adalah bentuk tanggung jawab dalam berkomunikasi. Meskipun platformnya digital, dampaknya tetap menyentuh perasaan manusia. Oleh karena itu, menyampaikan kritik atau saran pun harus dibarengi dengan rasa hormat dan empati.
Penting pula untuk tidak menuntut kehadiran instan. Tidak semua orang dapat atau harus langsung membalas pesan. Menghargai waktu dan ruang pribadi lawan bicara adalah bentuk kesadaran bahwa komunikasi sehat memerlukan keseimbangan antara intensi dan toleransi. Terkadang, memberi ruang jeda justru memperkaya kualitas hubungan.
Selain itu, kita perlu menjaga konsistensi dalam bersikap, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Jangan sampai kehangatan yang ditunjukkan saat bertemu langsung menguap begitu saja ketika berpindah ke layar ponsel. Relasi yang tulus tidak mengenal batas platform; ia tumbuh dari keautentikan dan komitmen untuk tetap hadir, meskipun hanya melalui tulisan singkat.
Pada akhirnya, semua hubungan baik melalui tatap muka maupun pesan teks bermuara pada niat untuk saling menghargai. Jika setiap pesan dikirim dengan itikad baik dan empati, maka batas ruang dan jarak tak lagi menjadi penghalang untuk membangun koneksi yang kuat, hangat, dan saling mendukung.