Jatuh di Matras, Bangkit di Hidup
OPINI:
Salma Anisa Afriani
Mahasiswa Penerbitan (Jurnalistik) Politeknik Negeri Jakarta
Namanya Alma. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia telah mencatatkan prestasi di dunia pencak silat: juara tingkat kota, provinsi, hingga dipercaya mewakili sekolah dalam berbagai kejuaraan antar pelajar. Bagi Alma, matras tanding adalah rumah kedua—tempat di mana ia merasa hidup, kuat, dan berharga.
Namun segalanya berubah drastis di tahun terakhir masa SMP. Penyakit usus buntu yang tak terdeteksi selama berbulan-bulan memaksanya menjalani operasi mendadak. Alih-alih pulih, kondisi tubuhnya justru semakin rentan. Ia mudah sakit, cepat lelah, dan akhirnya gagal lolos seleksi atlet tingkat daerah. Impiannya perlahan kandas.
“Waktu itu rasanya seperti semua pintu ditutup. Semua kerja keras, semua luka saat latihan, semua mimpi yang aku tata sirna begitu saja,” kenangnya.
Yang menarik, Alma tidak tenggelam dalam kecewa. Ia tetap memilih untuk berpikir positif.
“Mungkin aku tidak ditakdirkan jadi atlet, tapi bukan berarti aku berhenti jadi pejuang,” katanya sambil tersenyum.
Apa yang dilakukan Alma adalah contoh dari positive reappraisal, yakni kemampuan untuk menafsirkan ulang kejadian negatif sebagai peluang pertumbuhan. Psikolog Barbara Fredrickson dari University of North Carolina menjelaskan konsep ini dalam Broaden-and-Build Theory. Menurutnya, emosi positif seperti harapan dan optimisme dapat memperluas cara berpikir, memperkuat ketahanan mental, dan membuka peluang baru.
Fredrickson menulis, “Dengan berpikir positif, seseorang bisa melihat peluang bahkan dalam kehilangan.”
Luka yang Diolah Menjadi Makna
Berpikir positif bukan berarti menolak kenyataan pahit. Sebaliknya, ini adalah cara yang sehat untuk memaknai luka, agar tidak membusuk menjadi trauma. Alma mulai menulis kisah hidupnya di blog dan berbagi semangat lewat media sosial. Ia menemukan makna baru dalam membantu orang lain yang berjuang pulih dari luka yang tak kasat mata.
“Dulu aku ingin membela negara lewat olahraga, sekarang aku ingin membantu atlet tetap waras secara mental.”
Pernyataan itu bukan sekadar bentuk penghiburan diri, melainkan wujud dari post-traumatic growth, yaitu perubahan positif yang muncul setelah melewati kesulitan besar. Dalam The American Psychologist (Tedeschi & Calhoun, 2004), disebutkan bahwa individu yang bisa melihat sisi positif dari trauma cenderung mengalami peningkatan empati, kepercayaan diri, serta kejelasan dalam tujuan hidup.
Dalam kearifan lokal, Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “Setiap penderitaan adalah ujian bagi manusia untuk menemukan dirinya sendiri.” Ungkapan itu seolah hidup dalam sosok Alma, yang memilih untuk tetap bertahan bukan karena semuanya mudah, melainkan karena ia percaya selalu ada jalan untuk bertumbuh.
Optimisme Bukan Ilusi, Tapi Keputusan
Berpikir positif seperti yang Alma lakukan bukan soal percaya bahwa “semua akan baik-baik saja”, melainkan tentang keberanian untuk berkata, “aku akan baik-baik saja, meskipun dunia tidak.” Di tengah budaya yang memuja kesempurnaan dan kecepatan, kisah seperti Alma menjadi pengingat: kegagalan bukan akhir, dan kehilangan bisa jadi arah baru.
Menurut data Badan Pusat Statistik (2022), sekitar 70% anak muda Indonesia merasa cemas terhadap masa depan mereka. Angka ini menegaskan pentingnya keterampilan berpikir positif untuk menjaga kesehatan mental generasi muda, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian dan tekanan sosial.
Berpikir positif memang tidak menjamin kita akan selalu berhasil. Namun setidaknya, ia memberi kekuatan untuk tetap melangkah saat semua terasa berat. Alma mungkin gagal menjadi atlet profesional, tetapi ia tidak gagal menjadi manusia yang terus berjuang. Barangkali, inilah makna sejati dari berpikir positif: menerima bahwa mimpi bisa berubah bentuk, tetapi semangat untuk hidup tetap utuh.
Seperti kata Viktor Frankl, psikolog yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, “Segala sesuatu bisa diambil dari manusia, kecuali satu hal: kebebasan terakhir manusia—memilih sikap dalam situasi apa pun.” Maka dari itu, mari memilih untuk berpikir positif. Bukan karena hidup selalu baik, tetapi karena kita layak menemukan makna, bahkan dalam hal yang paling pahit sekalipun.
? Daftar Pustaka (APA Style):
Fredrickson, B. L. (2001). The role of positive emotions in positive psychology: The Broaden-and-Build Theory of positive emotions. American Psychologist, 56(3), 218–226. https://doi.org/10.1037/0003-066X.56.3.218
Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (2004). Posttraumatic growth: Conceptual foundations and empirical evidence. Psychological Inquiry, 15(1), 1–18. https://doi.org/10.1207/s15327965pli1501_01
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning (Rev. ed.). Beacon Press.
David, S. (2016). Emotional agility: Get unstuck, embrace change, and thrive in work and life. Avery Publishing. https://www.susandavid.com/book/emotional-agility/
Dewantara, K. H. (n.d.). Tut Wuri Handayani: Gagasan pendidikan nasional. Balai Pustaka. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/ki-hajar-dewantara-dan-pendidikan-karakter/
Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik kesehatan jiwa remaja Indonesia. https://www.bps.go.id/publication.html