TikTok, Brainrot, dan Krisis Pikiran Positif
OPINI
Firman Adhi Setyawan
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Pernahkah kita membuka TikTok “hanya sebentar”, lalu sadar bahwa satu jam sudah lewat tanpa ingat apa yang sebenarnya kita tonton? Bukan hanya kehilangan waktu, kadang kita juga merasa lelah, kosong, atau sulit berpikir setelah menutup aplikasi.
Cara Kerja TikTok Menyabotase Pikiran
Dilansir dari Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik (2025), durasi penggunaan gadget yang begitu tinggi, pola konsumsi konten online masyarakat pun mengalami lonjakan signifikan. Sayangnya, tingginya intensitas ini tidak selalu diiringi dengan kualitas konten yang dikonsumsi. Sebaliknya, konten singkat, dangkal, dan sensasional semakin mendominasi, menciptakan tantangan baru bagi kesehatan mental dan kemampuan berpikir manusia.
Menurut saya hal-hal yang terjadi hanya kebetulan, adanya perasaan kehilangan waktu dan tak dapat berpikir ketika menonton Tiktok adalah hasil dari rancangan sistem yang membuat kita kecanduan. Media sosial ini memang bekerja dengan algoritma yang bisa mempelajari setiap gerakan kita tentang apa yang kita selalu tonton, seberapa lama kita berhenti, dan konten mana yang kita abaikan.
Semua itu dikumpulkan dan diolah untuk satu tujuan, yaitu membuat perhatian kita tertahan selama mungkin di layar. Dari sinilah dampak dari brainrot muncul, saat otak manusia dibanjiri konten instan dan dangkal sampai kehilangan kemampuan untuk mencerna informasi secara mendalam.
Cara Kerja Algoritma Tiktok
Tiktok tidak bekerja secara acak. Aplikasi ini menggunakan algoritma canggih berbasis machine learning mampu mempelajari gerak-gerik penggunanya secara real-time. Setiap konten yang kita tonton, bahkan seberapa lama kita bertahan pada satu video, menjadi data yang dikalkulasi untuk membentuk apa yang akan muncul di halam For Your Page (FYP).
Mengutip dari laporan investigasi The Wall Street Journal (2021), bahwa Tiktok bisa mengetahui kecendrungan pengguna hanya dalam waktu dua jam dengan menyajikan konten yang semakin memaksa perhatian dan sesuai dengan pola tontonan sebelumnya.
Brainrot: Akibat Konsumsi Konten Singkat dan Dangkal
Melansir dari Tirto.id (2025) brainrot adalah gejala penurunan fungsi otak akibat paparan konten berlebih yang berdampak pada kemampuan konsentrasi, memori, hingga kesehatan mental.
Istilah ‘brain rot’ pertama kali muncul pada 1854 di buku bertajuk Walden karya Henry David Thoreau. Dia memakai kata itu saat mengkritik kecenderungan masyarakat beralih pada hiburan dangkal yang merusak intelektualitas. Berkat percakapan Gen Z dan Alpha di media sosial, kata 'brainrot' kembali mencuat, meski kali ini merujuk pada dampak konten digital berkualitas rendah. Saking melejitnya, kata ini masuk kamus Oxford pada 2024, dengan definisi mirip di medsos.
Istilah pembusukan otak atau brainrot muncul pertama kali pada tahun 1854 di buku yang berjudul Walden yang ditulis oleh Henry David Thoreau. Dia menggunakan kata itu untuk mengecam kebiasaan masyarakat yang beralih ke hiburan receh atau dangkal yang merusak fungsi otak. Karena percakapan Gen Z dan Alpha di media sosial, istilah brainrot muncul kembali, tapi kali merujuk pada dampak konten di internet dengan kualitas yang rendah atau dangkal.
Menurut Psychology Today (2024), fenomena ini muncul karena otak terbiasa mendapat dopamin instan tanpa menggunakan usaha kognitif yang berarti. Konten-konten ini tidak membuat kita merenung atau berpikir secara rasional, hanya menonton dan segera lanjut menonton video dangkal lainnya. Seiring waktu, kebiasaan ini bisa melemahkan konsentrasi, mengaburkan pembatas antara realitas dan hiburan, dan menciptakan rasa kosong setelah scroll yang berkepanjangan. Jadi tidak heran kalau banyak pengguna merasa lelah, hampa, atau malas melakukan kegiatan yang produktif setelah menghabiskan waktu di TikTok, namun tetap mengulanginya setiap hari.
Cara Menanam Pikiran Positif di Tengah Konten Brainrot
Meski sistemnya membuat kita terjebak, bukan berarti kita tak punya pilihan untuk keluar, menanam pikiran yang positif harus menjadi tindakan sadar di tengah melejitnya konten-konten yang singkat dan dangkal. Salah satu tindakan awal yaitu dengan melakukan digital detox, yaitu kegiatan yang membatasi waktu konsumsi kita di media sosial, terutama saat pagi dan sebelum tidur.
Mengutip dari Greater Good Science Center (2018)I, mencatat tiga hal yang harus disyukuri setiap hari dalam jurnal sederhana terbukti bisa meningkatkan kebahagiaan dan ketahanan mental secara signifikan. Selain itu, kita juga bisa mengatur ulang algoritma media sosial dengan mengikuti akun-akun yang bertema edukatif, reflektif, dan inspiratif, juga bisa menjadi cara untuk menyeimbangkan konsumsi digital kita. Kita pun juga bisa melatih afirmasi positif harian seperti “Aku cukup,” yang bisa membantu menekan 60% pikiran negatif yang muncul tanpa disadari.
Fenomena brainrot yang muncul akibat konsumsi konten TikTok secara berlebihan menunjukkan bahwa algoritma media sosial mampu membentuk pola pikir kita secara diam-diam. Paparan konten singkat, dangkal, dan berulang melemahkan daya pikir kritis dan emosional generasi digital. Namun, berpikir positif tetap dapat disemai melalui langkah sadar seperti membatasi waktu layar, memilih konten yang membangun, dan mempraktikkan afirmasi serta journaling syukur. Dengan kesadaran dan konsistensi, kita bisa melawan efek negatif digital dan menjaga pikiran tetap sehat dan jernih di tengah arus informasi yang tak terbendung.