Lemonading dan Lucky Vicky: Cara Gen Z Bertahan dari Tekanan Hidup
OPINI:
Aditya Pratama
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Di tengah kehidupan yang penuh ketidakpastian, muncul dua pola pikir yang memberi angin segar dalam menghadapi tantangan hidup: lemonading dan Lucky Vicky. Keduanya membawa semangat optimisme yang tidak mengabaikan kenyataan, melainkan mengolahnya menjadi peluang bertumbuh. Istilah lemonading sendiri berasal dari pepatah lama “when life gives you lemons, make lemonade”, yang mengajarkan kita untuk mengubah situasi sulit menjadi sesuatu yang bermanfaat. Konsep ini menolak pandangan toxic positivity yang sering kali menekan emosi negatif. Lemonading justru mendorong kita untuk mengakui kesedihan, memberi ruang bagi perasaan kecewa, lalu secara reflektif membingkai ulang masalah tersebut menjadi pelajaran hidup yang bermakna.
Sementara itu, dari dunia K-pop, muncul pola pikir Lucky Vicky yang terinspirasi dari sikap optimis seorang idola muda Korea Selatan, Jang Wonyoung. Ia dikenal karena kebiasaannya mengubah kekecewaan menjadi eksplorasi baru. Misalnya, ketika makanan favoritnya habis, ia tidak mengeluh, tetapi menganggapnya sebagai kesempatan untuk mencoba sesuatu yang baru. Sikap seperti ini kemudian menjelma menjadi gerakan yang menyebar di kalangan Gen Z, terutama melalui media sosial. Banyak penggemar membagikan kisah pribadi tentang bagaimana mereka mengubah hari yang buruk menjadi momen penuh pelajaran dan rasa syukur. Dalam tekanan akademik, pekerjaan, dan kehidupan sosial, pendekatan ini menjadi cara bertahan yang lebih sehat secara emosional.
Di ranah akademik, konsep lemonading diteliti oleh Dr. Xiangyou “Sharon” Shen dari Oregon State University, yang menyoroti bagaimana individu dengan kepribadian ceria justru lebih realistis dalam menghadapi tantangan. Penelitiannya selama pandemi COVID-19 menemukan bahwa mereka yang memiliki kecenderungan optimistis tidak menolak kenyataan, melainkan melihatnya dengan sudut pandang yang lebih produktif dan menyenangkan. Hal ini menunjukkan bahwa berpikir positif bukan bentuk penyangkalan, melainkan kemampuan kognitif untuk mengolah informasi sulit dengan cara yang lebih sehat.
Lebih dari sekadar niat baik, berpikir positif melibatkan kerja sama antara struktur otak seperti korteks prefrontal dan sistem limbik dalam mengendalikan emosi dan membuat keputusan. Aktivitas neurotransmitter seperti dopamin juga turut membentuk rasa senang yang mendasari kecenderungan optimistis seseorang. Dari sisi psikologis, kepercayaan diri yang terbentuk dari pengalaman masa lalu sangat memengaruhi cara seseorang memandang masalah. Seseorang yang pernah gagal lalu bangkit, cenderung memiliki daya lenting yang kuat. Di sisi lain, lingkungan sosial baik itu keluarga, sekolah, atau komunitas digital juga memainkan peran penting dalam menanamkan pola pikir optimis atau sebaliknya, menciptakan tekanan berlebih yang memicu kecemasan.
Agar berpikir positif menjadi kebiasaan, kita perlu melatihnya dalam kehidupan sehari-hari. Praktik seperti melatih rasa syukur dengan mencatat hal-hal kecil yang patut disyukuri setiap hari dapat melatih otak untuk fokus pada keberlimpahan. Teknik reframing, yakni mengubah sudut pandang terhadap masalah, membantu kita memaknai kegagalan sebagai bagian dari proses belajar, bukan akhir dari segalanya. Dialog internal yang positif, atau self-talk, juga berperan penting mengganti pikiran seperti “aku gagal” menjadi “aku masih belajar” mampu menentukan arah tindakan kita ke depan. Latihan mindfulness atau kesadaran penuh pada saat ini juga efektif dalam meredam kekhawatiran dan penyesalan yang kerap membebani pikiran. Selain itu, berada di tengah lingkungan yang suportif dan optimis akan memperkuat kecenderungan kita untuk terus berpikir sehat.
Pada akhirnya, baik lemonading maupun Lucky Vicky mengajarkan kita bahwa menjadi optimis bukan berarti memaksa diri untuk selalu bahagia, melainkan tentang menerima kenyataan, mengelola emosi dengan bijak, dan tetap melangkah dengan pikiran jernih serta hati yang kuat. Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, pendekatan ini tidak hanya penting untuk kebahagiaan pribadi, tapi juga untuk menjaga kesehatan mental kolektif masyarakat. Jika semua orang mampu memandang hidup layaknya membuat limun dari buah lemon, barangkali kita akan tumbuh menjadi bangsa yang lebih tangguh, penuh empati, dan saling mendukung.