Prediksi Perkembangan Media Jurnalistik di Indonesia: Kini dan Nanti

Diterbitkan oleh Redaksi pada Sabtu, 4 Oktober 2025 20:55 WIB dengan kategori Opini Suara Mahasiswa dan sudah 216 kali ditampilkan

Alifha Syafitri Salma

Politeknik Negeri Jakarta

 

Depok — Dunia jurnalistik Indonesia sedang berada di titik persimpangan. Antara semangat idealisme dan tuntutan algoritma, antara etika profesi dan inovasi teknologi. Dalam lima tahun ke depan, masa depan media Indonesia akan ditentukan oleh sejauh mana jurnalis, akademisi, dan industri mampu beradaptasi terhadap perubahan digital dan tekanan politik yang kian kompleks.

Fenomena ini juga menjadi bahan diskusi dalam Journalistic Expo Day bertajuk Journey 2025 yang digelar oleh Program Studi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta. Sejumlah praktisi media dan akademisi hadir, termasuk Rahma Hayuningdyah (MDTV), Alfons Yoshio Hartanto (tirto.id), Salman Alfarisi (PaveNow), dan Res Ares (Expectainment). Mereka membedah arah baru dunia jurnalistik dari beragam perspektif: etika, kewirausahaan, hingga inovasi teknologi.

Antara Fakta dan Algoritma

Editor pemeriksa fakta Alfons Yoshio Hartanto menilai, tantangan terbesar jurnalis saat ini adalah menjaga akurasi di tengah derasnya arus informasi yang dipicu media sosial dan kecerdasan buatan (AI).

“Kita hidup di era Dimana kecepatan dianggap segalanya tetapi tugas jurnalis justru memastikan bahwa yang cepat itu juga benar,” ujarnya dalam sesi PBL Expo (29/9/2025)’

Menurut riset Reuters Institute Digital News Report 2025, 72% pembaca berita di Asia Tenggara kini mendapatkan informasi utama melalui media sosial dan aplikasi pesan instan. Pola konsumsi semacam itu membuat algoritma menjadi gatekeeper baru, menggeser peran redaksi tradisional.

Namun, kehadiran AI di ruang redaksi juga membawa manfaat. Otomatisasi penulisan berita cepat, pengolahan data, hingga deteksi hoaks kini mempercepat kerja newsroom. Tantangannya, menurut Alfons, adalah menjaga transparansi proses dan mencegah kesalahan etis.

Era Mediapreneur: Saat Jurnalis Jadi Inovator

Transformasi lain datang dari sisi ekonomi media. Model bisnis berbasis iklan digital semakin rapuh karena dominasi platform global seperti Google dan Meta. Kondisi ini menuntut media untuk berpikir kreatif dalam mencari sumber pendapatan baru.

Salman Alfarisi, praktisi digital dari PaveNow, menyebut bahwa masa depan media justru terletak pada inovasi kewirausahaan di bidang konten. “Jurnalis masa depan tidak hanya menulis berita, tetapi juga harus memahami produk, pasar, dan teknologi. Inilah era mediapreneur,” katanya dalam sesi Kewirausahaan (30/9/2025).

Menurut data Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI, 2024), sekitar 40% media online lokal kini mulai beralih ke model langganan (subscription) dan kolaborasi komunitas untuk menjaga keberlanjutan. Model ini memperkuat hubungan antara pembaca dan redaksi, sekaligus menjaga independensi dari tekanan iklan.

Kreativitas Jadi Napas Jurnalistik

Sementara itu, Rahma Hayuningdyah dari MDTV menegaskan bahwa kreativitas dan kemampuan adaptasi menjadi kunci bertahan di industri media. “Jurnalis muda harus kuat secara ide dan integritas. Dunia media sekarang menuntut kemampuan storytelling lintas platform,” ujarnya dalam kuliah umum bertema Young Journalist: Strong in Creation (29/9/2025).

Tren konten multimedia, seperti podcast, reels, dan immersive journalism (berbasis AR/VR), kini mulai digunakan media besar untuk memperluas jangkauan audiens. Menurut laporan We Are Social 2025, 92% pengguna internet Indonesia mengonsumsi berita melalui video pendek. Fenomena ini menuntut jurnalis memahami produksi visual dan strategi distribusi lintas kanal.

Masa Depan: Sinergi AI dan Etika

Melihat tren global, AI diprediksi akan menjadi bagian tak terpisahkan dari kerja jurnalistik di Indonesia. World Economic Forum (2025) memprediksi lebih dari 40% pekerjaan redaksi akan melibatkan teknologi AI pada 2030. Namun, tanpa etika dan kebijakan transparan, kepercayaan publik terhadap media bisa runtuh.

Indonesia sendiri tengah merumuskan regulasi penggunaan AI di bidang media, seperti yang dibahas oleh Kominfo (2025). Regulasi ini diharapkan menjadi pedoman agar teknologi tidak menggerus independensi dan tanggung jawab jurnalis.

“Teknologi hanyalah alat. Nilai jurnalistik tetap harus berakar pada fakta, bukan algoritma,” tambah Alfons Yoshio.

Antara Harapan dan Tantangan

Kombinasi antara jurnalisme data, inovasi kewirausahaan, dan literasi digital menjadi fondasi perkembangan media ke depan. Namun, faktor kebebasan pers juga tidak bisa diabaikan. Laporan Reporters Without Borders (RSF) 2025 menempatkan Indonesia di peringkat 111 dari 180 negara dalam indeks kebebasan pers dunia — angka yang menurun dibanding dua tahun sebelumnya.

Hal ini menjadi sinyal bahwa selain beradaptasi dengan teknologi, dunia jurnalistik Indonesia masih harus berjuang melawan tekanan politik, disinformasi, dan polarisasi sosial.

Kesimpulan

Media jurnalistik Indonesia kini sedang memasuki fase “evolusi kritis”: di mana teknologi, etika, dan bisnis saling tarik menarik. Namun, harapan tetap terbuka. Inovasi kewirausahaan media, kolaborasi lintas platform, dan penguatan etika AI dapat menciptakan lanskap jurnalistik yang lebih adaptif dan kredibel.

Seperti pesan yang mengemuka di panggung Journey 2025: mengungkap fakta, menggerakkan asa. Karena pada akhirnya, masa depan media bukan hanya tentang alat yang digunakan, tetapi tentang niat menjaga kebenaran di tengah perubahan zaman.