Antara Viral dan Kredibel: Prediksi Peranan Social Media Journalism di Indonesia, Kini dan Nanti

Diterbitkan oleh Redaksi pada Senin, 6 Oktober 2025 21:14 WIB dengan kategori Opini Suara Mahasiswa dan sudah 201 kali ditampilkan

Opini: Adzhaqirra Syahsheiqa S.R

Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

 

Di tengah derasnya arus informasi digital, media sosial telah bertransformasi menjadi ruang utama masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi berita. Dari X (Twitter) hingga TikTok, informasi publik kini beredar jauh lebih cepat dibanding media konvensional. Fenomena ini menandai lahirnya era baru: social media journalism, jurnalisme yang tumbuh dan beradaptasi di platform sosial.

Menurut survei We Are Social 2025, terdapat lebih dari 191 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia yang menghabiskan rata-rata 3 jam 20 menit per hari untuk berselancar di dunia maya. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu pasar media sosial terbesar di dunia. Tak heran, banyak redaksi kini menjadikan media sosial bukan sekadar kanal distribusi, tetapi juga ruang utama untuk peliputan dan interaksi dengan audiens.

Jurnalisme di Tengah Laju “Like” dan “Share”

Media sosial menawarkan keunggulan yang sulit ditandingi: kecepatan, kedekatan, dan daya jangkau. Melalui unggahan singkat atau video berdurasi pendek, berita bisa sampai ke publik hanya dalam hitungan menit setelah peristiwa terjadi.
Namun, kecepatan ini sering menjadi pedang bermata dua.

“Di satu sisi, media sosial memudahkan jurnalis menjangkau khalayak luas. Tapi di sisi lain, ia menuntut jurnalis berpacu dengan algoritma — bukan lagi sekadar kebenaran,” ujar Ratri Anindya, Redaktur Digital Kompas.com, saat dihubungi pada Jumat (4/10). Ia menegaskan, tekanan untuk “viral” kerap menggoda redaksi mengabaikan proses verifikasi berita.

Pandangan serupa disampaikan oleh Dr. Imam Sutrisno, dosen komunikasi Universitas Airlangga. Menurutnya, social media journalism berpotensi mengikis idealisme jika tidak dibarengi dengan etika profesional.
“Jurnalisme di media sosial kini berada di persimpangan: antara edukasi publik dan sekadar konten hiburan. Tantangannya adalah menjaga nilai berita agar tidak tenggelam oleh tren algoritmik,” ujarnya.

Tren Terkini: Dari Citizen Journalism hingga AI Reporter

Seiring ledakan pengguna media sosial, muncul pula fenomena citizen journalism — partisipasi warga dalam melaporkan peristiwa secara langsung dari lokasi kejadian.
Contohnya terlihat saat bencana alam di Jawa Tengah beberapa bulan lalu. Video amatir warga menjadi sumber awal bagi banyak media nasional untuk mengonfirmasi situasi di lapangan.
Namun, tidak sedikit pula yang menyebarkan informasi keliru atau menyesatkan.

Untuk menghadapi banjir informasi ini, redaksi kini mengandalkan alat verifikasi berbasis AI dan platform pemeriksa fakta seperti CekFakta dan TurnBackHoax.
“Peran AI bukan menggantikan jurnalis, melainkan memperkuat akurasi,” ujar Wahyu Prasetyo, jurnalis teknologi Katadata.co.id. Menurutnya, penggunaan AI membantu mempercepat proses verifikasi dan analisis data, meski tetap membutuhkan pengawasan manusia.

Prediksi: Masa Depan yang Lebih Interaktif dan Terukur

Bagaimana masa depan social media journalism di Indonesia?
Beberapa pengamat memprediksi bahwa dalam lima tahun ke depan, media sosial akan menjadi tulang punggung utama distribusi berita digital. Redaksi tak lagi hanya membagikan tautan, tetapi mengintegrasikan fitur interaktif seperti live update, polling, dan community discussion langsung di platform.

“Publik akan semakin kritis. Mereka ingin ikut membentuk narasi, bukan hanya menjadi konsumen berita,” ujar Nurul Hidayah, analis media dari lembaga riset Digital Insight Asia.
Menurutnya, media yang sukses di masa depan adalah yang mampu membangun komunitas pembaca, bukan sekadar mengejar click rate.

Selain itu, model monetisasi juga diprediksi akan bertransformasi. Platform seperti YouTube Shorts dan TikTok kini menawarkan creator fund dan revenue share bagi konten berita berkualitas. Hal ini membuka peluang pendapatan baru bagi redaksi, selama mereka tetap menjaga kredibilitas.


Etika, Literasi, dan Regulasi: Tiga Pilar Pengawal Masa Depan

Tantangan terbesar bukan hanya pada teknologi, melainkan pada kepercayaan publik.
Berdasarkan survei Reuters Institute 2024, tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media daring hanya sekitar 39%, menurun dari tahun sebelumnya.
Kondisi ini menegaskan pentingnya penguatan literasi digital dan etika redaksi dalam mengelola konten di media sosial.

Pemerintah dan Dewan Pers diharapkan tidak hanya fokus pada regulasi, tetapi juga turut mendorong pelatihan jurnalisme digital dan literasi media bagi masyarakat.
“Jurnalis masa depan bukan hanya penulis, tetapi juga digital curator — sosok yang mampu memilah, memverifikasi, dan memaknai informasi,” kata Dr. Imam menutup wawancara.

Menatap “Kini dan Nanti”

Peran media sosial dalam jurnalisme Indonesia ibarat dua sisi mata uang: cepat sekaligus rawan, terbuka sekaligus rapuh.
Jika dimanfaatkan dengan bijak, ia menjadi medium demokratis yang memperkuat partisipasi publik dan transparansi informasi.
Namun, tanpa etika, ia bisa berubah menjadi ruang gelap penyebaran disinformasi.

Ke depan, social media journalism akan terus berkembang  bukan untuk menggantikan jurnalisme konvensional, melainkan melengkapinya.
Kuncinya ada pada jurnalis yang adaptif, kritis, dan beretika, agar setiap berita yang lahir di ruang maya tetap berpihak pada kebenaran, bukan sekadar kecepatan.