Kritik Terhadap Program Tapera: Sebuah Evaluasi Mendalam

Diterbitkan oleh Redaksi pada Senin, 17 Juni 2024 09:18 WIB dengan kategori Opini Suara Mahasiswa dan sudah 487 kali ditampilkan

Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dicanangkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menjadi sorotan tajam di tengah masyarakat Indonesia. Meskipun disajikan sebagai langkah untuk meningkatkan akses perumahan bagi rakyat, Tapera mendapat banyak kritik keras dari berbagai kalangan, baik dari sisi politis maupun ekonomis. Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi berbagai aspek kritik terhadap Tapera serta implikasinya dalam konteks ekonomi Indonesia.

Salah satu titik sentral dalam kritik terhadap Tapera adalah soal sifat wajib program ini, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024. Wajibnya partisipasi ini, yaitu 3% dari penghasilan bulanan, menciptakan perdebatan mengenai kebebasan individu dalam mengelola penghasilannya sendiri. Meskipun argumen seperti yang disampaikan oleh Menteri PPN/Bappenas, Suharso Monoarfa, mencoba meredakan kekhawatiran dengan perbandingan kepada tabungan haji yang juga bersifat sukarela, namun realitas implementasi Tapera menunjukkan sebaliknya.

Kritikus seperti Trubus Rahardiansyah menyoroti bahwa pemerintah seharusnya bertanggung jawab secara langsung dalam memenuhi kebutuhan perumahan bagi rakyatnya, bukan mengandalkan dana dari "pemerasan" melalui program yang dianggapnya mirip dengan skema Ponzi. Lebih lanjut, kritik juga mengarah pada potensi inkonsistensi dengan UUD 1945 Pasal 28 yang menjamin hak atas kepastian hukum dan kesejahteraan rakyat, termasuk akses terhadap perumahan yang layak.

Dari segi ekonomi, Tapera juga dinilai memberikan dampak yang merugikan, terutama terkait dengan pasar tenaga kerja dan daya beli masyarakat. Bhima Yudhistira dari CELIOS memproyeksikan bahwa Tapera dapat menyebabkan pengurangan signifikan dalam lapangan kerja, dengan perkiraan kehilangan hingga 466.830 pekerjaan. Ini disebabkan oleh pengurangan konsumsi dan investasi dari perusahaan yang harus menanggung beban tambahan biaya tenaga kerja.

Pengusaha dan asosiasi pekerja juga menyuarakan kekhawatiran serupa, mengingat kewajiban baru ini akan mengurangi fleksibilitas dan daya saing industri dalam negeri. Kewajiban 3% dari penghasilan bulanan sebagai kontribusi Tapera juga menjadi beban tambahan di tengah kondisi ekonomi yang sudah sulit, terutama bagi pekerja informal dan mandiri yang mungkin mengalami kesulitan finansial untuk memenuhi kewajiban ini.

Mengingat kontroversi dan dampak negatif yang ditimbulkan, perlu ada kajian ulang menyeluruh terhadap implementasi Tapera. Salah satu alternatif yang diajukan adalah mengubah sifat wajib program ini agar lebih bersifat sukarela, khususnya untuk pekerja informal dan mandiri. Hal ini akan mengurangi tekanan finansial yang dirasakan oleh golongan ini tanpa mengurangi manfaat yang ingin dicapai dari program Tapera.

Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana Tapera juga menjadi krusial. Asesmen imbal hasil yang lebih jelas dan partisipasi aktif lembaga seperti KPK dan BPK dalam pengawasan dana ini dapat membangun kepercayaan masyarakat serta memastikan dana yang dikumpulkan digunakan dengan efektif untuk tujuan yang seharusnya.

Selain itu, langkah-langkah untuk meningkatkan daya beli masyarakat juga perlu ditekankan. Penyesuaian suku bunga KPR dan intervensi kebijakan moneter yang tepat dapat membantu mengimbangi kenaikan harga rumah yang terus meningkat, sehingga manfaat Tapera dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat luas.

Sebagai program yang menuai pro dan kontra, Tapera menunjukkan kompleksitas dalam implementasinya. Sementara tujuan untuk meningkatkan akses perumahan adalah hal yang mulia, perlu adanya evaluasi mendalam terhadap dampak sosial, ekonomi, dan hukum dari kebijakan ini. Masyarakat menantikan sikap pemerintah yang baru terkait dengan nasib Tapera di masa mendatang, apakah akan mengalami revisi mendalam atau diteruskan dengan perbaikan signifikan.

Di akhir artikel ini, satu hal yang pasti adalah perlunya dialog terbuka dan transparan antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya dalam merumuskan kebijakan publik yang dapat membangun kepercayaan dan kesejahteraan bersama. Hanya dengan pendekatan seperti itu, langkah-langkah seperti Tapera dapat benar-benar mendukung visi pembangunan nasional menuju kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.