Tantangan dan Kontroversi Program Tapera dalam Konteks Kesejahteraan Pekerja

Diterbitkan oleh Redaksi pada Senin, 17 Juni 2024 21:11 WIB dengan kategori Opini Suara Mahasiswa dan sudah 331 kali ditampilkan

Safridon

Mahasiswa Akuntansi Syariah STEBI Batam

 

Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) telah menjadi topik perbincangan yang hangat di kalangan masyarakat, terutama terkait dengan dampak ekonomi yang dirasakan langsung oleh pekerja. Meskipun diinisiasi dengan tujuan mulia untuk menyediakan akses perumahan yang lebih baik bagi berbagai lapisan pekerja, realitas pelaksanaannya menghadapi tantangan signifikan yang perlu dievaluasi lebih dalam.

Dikenal sebelumnya dengan nama Taperum, program ini dimulai pada tahun 1993 dengan fokus pada Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pada perkembangannya, program ini diubah namanya menjadi Tapera dengan cakupan yang lebih luas, termasuk pegawai swasta dan pekerja mandiri. Pada tahun 2016, pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 4 tahun 2016 tentang Tapera, yang mengatur potongan sebesar 3% dari gaji pekerja setiap bulannya, dengan kontribusi 2.5% dari upah pekerja dan 0.5% dari perusahaan tempat pekerja bekerja.

Salah satu kritik utama terhadap Tapera adalah beban finansial yang dikenakan kepada pekerja. Potongan sebesar 3% dari gaji bulanan, meskipun terlihat kecil, dapat memberikan dampak yang signifikan terutama bagi pekerja dengan pendapatan rendah atau yang bekerja dengan sistem kontrak. Kenaikan upah yang tidak seimbang dengan laju inflasi dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok membuat pekerja merasa terbebani lebih lanjut.

Pekerja dengan status kontrak, yang sering kali menghadapi ketidakpastian pekerjaan, merasa bahwa kontribusi mereka terhadap Tapera tidak diimbangi dengan jaminan kesempatan untuk memiliki rumah di masa depan. Mereka menghadapi risiko kehilangan pekerjaan dan ketidakstabilan ekonomi pribadi tanpa jaminan yang cukup untuk investasi jangka panjang seperti kepemilikan rumah.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah Tapera, dalam bentuknya yang saat ini, realistis dalam membantu pekerja mencapai tujuan memiliki rumah sendiri. Sebagai contoh, seorang pekerja dengan gaji 5 juta per bulan yang mengikuti Tapera selama 10 tahun hanya akan mengumpulkan sekitar 18 juta Rupiah. Jumlah ini jelas tidak cukup untuk membayar uang muka rumah, apalagi membeli rumah secara keseluruhan.

Kritik ini memunculkan pertanyaan tentang efektivitas Tapera dalam mencapai tujuan sosialnya, yaitu memberikan akses perumahan yang lebih baik bagi masyarakat. Alih-alih memberikan solusi, program ini justru dapat menjadi tambahan beban finansial bagi pekerja, terutama di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil dan kenaikan pajak yang berdampak langsung pada daya beli masyarakat.

Untuk meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan Tapera, ada beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah. Pertama, evaluasi ulang terhadap besaran potongan gaji yang dilakukan oleh pekerja. Mungkin perlu adanya penyesuaian agar lebih sesuai dengan kemampuan finansial pekerja, terutama mereka yang berada di tingkat pendapatan rendah. Kedua, pemerintah dapat lebih aktif dalam menyediakan unit-unit perumahan yang terjangkau secara langsung kepada masyarakat yang membutuhkan.

Keterlibatan pemerintah dalam menyediakan perumahan yang terjangkau tidak hanya memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat, tetapi juga dapat merangsang pertumbuhan sektor properti yang berkelanjutan. Dengan memberikan insentif yang tepat kepada pengembang untuk membangun perumahan yang terjangkau, pemerintah dapat menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih stabil dan inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat.

Pemerintah perlu mempertimbangkan ulang implementasi Tapera agar lebih memperhatikan kondisi ekonomi riil pekerja, terutama di masa-masa sulit seperti saat ini. Evaluasi mendalam terhadap potensi beban finansial yang ditanggung pekerja dan penyesuaian terhadap kebijakan Tapera menjadi langkah penting dalam memastikan bahwa program ini tidak hanya berjalan, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Sebagai negara dengan berbagai tantangan sosial dan ekonomi, upaya untuk menciptakan kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat merupakan kewajiban yang tak terelakkan bagi pemerintah.