Ditengah Keraguan, Keluarga Menjadi Jawaban

Diterbitkan oleh Redaksi pada Selasa, 3 Juni 2025 11:15 WIB dengan kategori Feature Suara Mahasiswa dan sudah 99 kali ditampilkan

Nabilah Septiani

Mahasiswi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta

 

Beberapa langkah lagi, aku akan menuntaskan perjalanan panjang ini. Aku hanya perlu menyelesaikan magang terakhir, lalu mulai merajut kata demi kata untuk tugas akhir. Jalan yang kutapaki sejak awal kuliah kini terasa semakin dekat menuju ujungnya. Koridor-koridor yang dulu terasa asing perlahan berubah menjadi ruang yang menyimpan jejak, dan rasanya aku tidak ingin meninggalkannya begitu saja.

 

Namun yang aneh, justru saat segalanya hampir selesai, kebimbangan mulai menyelinap. Sebuah kabar datang tanpa aba-aba, menggoyahkan suasana hatiku yang semula tenang.


"Selamat, Anda dinyatakan sebagai calon mahasiswa baru Universitas Indonesia."

 

Kalimat itu jatuh seperti riak kecil yang mengganggu permukaan air yang tenang. Aku pun mulai bertanya dalam hati, , “Jika sejak awal aku menginginkan UI, mengapa aku merasa takut sekarang?”

 

Memang aku sempat merasa kecewa karena tidak diterima di Universitas Indonesia. Namun, waktu perlahan mengajarkanku untuk menerima kenyataan. Di Politeknik Negeri Jakarta, aku menemukan teman-teman yang memahami, dosen-dosen yang sabar membimbing, serta ruang yang memberiku kesempatan untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

 

Dalam kondisi seperti ini, aku mulai bertanya-tanya Apakah bijak meninggalkan semuanya demi sebuah gelar dari kampus impian? Aku berada pada pilihan yang membuat dadaku sesak. Di satu sisi, ada kesempatan untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Di sisi lain, ada peluang untuk memulai kembali dari awal di Universitas yang dulu hanya bisa kupandangi dari kejauhan.

 

Di kamar kecilku, aku duduk sambil mencoba meredakan kebingungan yang memenuhi kepala. Aku membuka laptop dan mulai menulis tugas, tetapi setiap kalimat yang kutulis terasa mengambang, seolah kehilangan arah dan makna.

 

Dalam kondisi seperti ini, aku menyadari bahwa ada satu tempat yang selalu bisa kujadikan tujuan untuk kembali yaitu keluarga.

 

Bagiku, keluarga bukan sekadar mereka yang memiliki hubungan darah. Keluarga adalah mereka yang hadir ketika aku merasa rapuh, yang memberi pelukan hangat ketika dunia terasa dingin, dan yang setia mendengarkan meski aku tak mampu merangkai kata.

 

Perasaan takut terus menghantuiku hingga aku memberanikan diri untuk berbagi cerita dengan keluarga. Saat aku bercerita, aku menyadari bahwa semangat itu sebenarnya tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya tertutup oleh kabut ketidakpastian yang terus menyelimuti pikiranku.

 

Ketika aku memberi kabar kepada ibu melalui telepon, suaranya yang hangat seketika menghapus keraguan dalam benakku. "Ibu percaya, apa pun keputusanmu, kamu pasti sudah memikirkannya dengan matang," katanya lembut. "Kamu tidak sendiri, kak."

 

Aku terdiam. Air mataku mengalir begitu saja, tanpa peringatan. Aku tidak tahu pasti apa yang kurasakan saat itu. Mungkin bahagia, mungkin sedih, atau justru campuran keduanya yang diselimuti rasa takut.

 

Ayah juga ikut memberikan kekuatan. "Hidup memang tidak mudah. Kadang kita harus memilih di antara dua hal yang sama-sama penting," ucapnya. "Tapi ingat, ayah dan ibu akan selalu menjadi tempatmu kembali, apa pun keputusanmu."

 

Dari kata-kata mereka, aku menemukan makna rumah yang sebenarnya. Rumah bukan hanya tempat kita kembali, tetapi tempat di mana aku merasa diterima apa adanya. Di sana, aku bisa menjadi diriku sendiri, tanpa rasa takut, tanpa rasa dihakimi.

 

Keluarga bukan hanya hadir saat segalanya berjalan baik. Mereka juga tetap berada di sisiku ketika aku kehilangan arah. Mereka menerima diriku dengan segala keraguan, kebimbangan, dan ketidaksempurnaan yang aku bawa. Jika dulu aku merasa harus selalu kuat di hadapan mereka, kini aku tahu bahwa rapuh pun tak mengurangi cinta mereka.

 

Di tempat inilah aku belajar bahwa memilih jalan hidup bukan hanya tentang seberapa cepat seseorang sampai di tujuan, tetapi tentang bagaimana ia menjalani perjalanan dengan cinta dan dukungan. Jika sebelumnya aku mengukur keberhasilan dari garis akhir, kini aku mulai menyadari bahwa proses yang tulus justru lebih berarti.

 

Saat keraguan menyapa dan keinginan untuk pindah mulai mengusik, aku teringat pada pesan keluarga. Mereka mengatakan bahwa keberanian bukan berarti tidak merasa takut, tetapi justru tentang bagaimana seseorang tetap melangkah meski rasa takut masih melekat di dada.

 

Ibu menggenggam tanganku dengan hangat dan menenangkan, seolah ingin menyampaikan bahwa aku tidak perlu memilih jalan yang sempurna, tetapi cukup memilih jalan yang membuat hatiku merasa damai. Di sampingnya, ayah memberikan dukungan dengan mengingatkan bahwa keluarga selalu ada untuk mendukung, bukan untuk menghakimi.

 

Kata-kata mereka menyala seperti lilin kecil yang perlahan menuntunku dalam kegelapan kebimbangan. Dari percakapan itu, aku belajar satu hal yang sangat penting, keluarga adalah pelabuhan, bukan jangkar. Pelabuhan yang menjadi tempatku kembali dan mengisi tenaga sebelum berlayar lagi, bukan jangkar yang menahanku di tempat karena takut akan yang belum pasti.

 

Kini, ketika aku berdiri di antara dua pilihan besar dalam hidup, aku merasakan ketenangan yang berbeda dari sebelumnya. Jika dulu aku merasa sendiri dan terbebani, kini aku tahu bahwa apa pun pilihanku, keluarga akan menjadi penopang yang setia.

 

Di balik setiap kebimbangan yang pernah menyelimuti langkahku, aku akhirnya menemukan makna keluarga yang sesungguhnya yaitu kehadiran yang tak bersyarat. Dibandingkan dengan dunia luar yang sering menuntut pencapaian dan hasil, keluarga mengajarkanku bahwa memilih jalan hidup bukanlah soal menang atau kalah, melainkan tentang bagaimana aku menjalani prosesnya dengan cinta, pengertian, dan dukungan yang tak pernah terputus.

 

Perjalanan ini mengajarkanku bahwa mimpi bukan hanya tentang mencapai tujuan akhir, tetapi juga tentang keberanian untuk memulai ulang ketika hati merasa lebih hidup. Aku belajar bahwa tak ada yang salah dalam merubah arah, selama langkah itu memberiku ruang untuk tumbuh dan menjadi lebih utuh sebagai manusia.

 

Di tengah riuhnya dunia yang menuntut kepastian, keluargaku justru hadir dengan penerimaan. Mereka tidak memintaku sempurna, hanya memintaku jujur pada apa yang membuatku bahagia.

Kini, ketika aku berdiri di antara dua jalan, aku tak lagi gentar. Bukan karena aku tahu segalanya, tapi karena aku tahu ke mana harus kembali jika nanti tersesat. Dan selama cinta mereka ada di sisiku, aku siap melangkah ke mana pun hidup membawaku. Karena sejatinya, kekuatan terbesar bukan datang dari tempat kita pergi, melainkan dari mereka yang tetap tinggal.