Menolak Curiga, Menyambut Luka?
OPINI:
Martha Ayu Winarno
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Berpikir positif sering dianggap sebagai tanda kedewasaan. Banyak orang memegang prinsip “jangan berprasangka buruk” dan percaya bahwa kepercayaan adalah kunci langgengnya sebuah hubungan. Maka ketika pasangan bersikap dingin, jarang memberi kabar, atau terus mengulang alasan yang sama, reaksi yang muncul bukanlah kecurigaan—melainkan pembenaran.
“Aku yakin dia cuma sibuk.”
“Dia memang begitu orangnya, tapi hatinya baik.”
“Mungkin akunya yang terlalu sensitif.”
Kalimat-kalimat ini bukan sekadar bentuk simpati, tetapi cara mempertahankan pandangan positif—meskipun di baliknya tersimpan keraguan dan luka yang enggan diakui. Banyak yang mengira sedang menjaga hubungan, padahal yang mereka lindungi hanyalah ilusi kenyamanan.
Memilih Bertahan Meski Disakiti
Menurut survei Jakpat (2023), sebanyak 64,3% responden di Indonesia pernah berada dalam hubungan yang tidak sehat (toksik). Yang menarik, 44,3% dari mereka memilih tetap bertahan. Artinya, hampir separuh dari mereka yang sadar bahwa hubungan itu menyakitkan tetap enggan meninggalkannya. Salah satu alasannya: keyakinan bahwa semua akan berubah dan pasangannya tidak benar-benar berniat menyakiti.
Fenomena ini menunjukkan bahwa berpikir positif kerap dijadikan tameng psikologis. Bukan karena tidak tahu ada yang salah, tapi karena enggan mengakui bahwa kenyataan itu benar-benar menyakitkan. Dalam psikologi, mekanisme ini dikenal sebagai denial atau penyangkalan.
Dalam konteks hubungan romantis, penyangkalan adalah mekanisme di mana seseorang menolak mengakui kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan atau keyakinan. Meski sering dilihat sebagai tanda kedewasaan, berpikir positif dalam kasus seperti ini justru bisa menjadi bentuk penghindaran terhadap realitas yang menyakitkan.
Berusaha Positif, Tapi Malah Tersiksa
Penelitian dari Universitas Gadjah Mada (2022) menyebutkan bahwa hubungan tidak sehat dapat memengaruhi kondisi mental remaja. Dampaknya bisa berupa stres kronis, gangguan konsentrasi, hingga depresi ringan sampai sedang. Sayangnya, karena merasa “harus kuat” dan “tetap positif,” banyak yang tidak menyadari bahwa tekanan batin tersebut bersumber dari hubungan yang mereka pertahankan sendiri.
Data dari Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa 9,8% penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional seperti kecemasan dan depresi. Sementara itu, CNN Indonesia (2022) melaporkan bahwa sebanyak 2,45 juta remaja Indonesia terdiagnosis mengalami gangguan jiwa dalam 12 bulan terakhir.
Temuan lain dari UGM juga menyoroti bahwa hubungan romantis yang toksik sering kali disalahartikan sebagai “uji kesabaran” atau “cinta sejati,” padahal sebetulnya perlahan-lahan merusak harga diri dan kesehatan mental.
Banyak yang memilih bertahan karena merasa harus kuat, padahal yang sebenarnya terjadi adalah bentuk penghindaran emosional. Saat seseorang berkata, “Aku yakin dia tetap sayang,” itu sering kali bukan cerminan kekuatan, melainkan ketakutan: takut kehilangan, takut ditolak, atau takut harus membuat keputusan yang menyakitkan.
Apakah Kamu Sedang Menipu Diri Sendiri?
Berikut adalah beberapa sinyal bahwa kamu mungkin sedang memaksakan berpikir positif meski sadar ada yang salah:
-
Kamu sering membela pasangan di depan orang lain, meski dalam hati tidak setuju.
-
Kamu mengabaikan perasaan sendiri demi menjaga suasana tetap “adem.”
-
Kamu merasa tidak bahagia, tapi takut menyuarakannya karena khawatir menimbulkan konflik.
-
Kamu merasa bersalah hanya karena merasa curiga.
-
Kamu terus-menerus mencari alasan untuk membenarkan sikap pasangan, meskipun alasannya tak masuk akal.
Cara Bijak Membedakan Harapan dan Kenyataan
Agar tidak terjebak dalam ilusi positif, cobalah refleksi dengan langkah-langkah ini:
-
Lihat Sikap Pasangan Secara Jujur
Apakah dia benar-benar berusaha memperbaiki hubungan, atau kamu yang terus mencari pembenaran? -
Pisahkan Harapan dari Fakta
Berharap itu manusiawi, tapi jangan biarkan harapan menutupi kenyataan. -
Akui Perasaanmu Sendiri
Merasa sedih, curiga, atau kecewa itu wajar. Itu tanda kamu peduli, bukan tanda kamu lemah. -
Berani Bicara, Bukan Sekadar Memaklumi
Hubungan yang sehat dibangun dari komunikasi dua arah. Suaramu juga penting. -
Tanya Dirimu dengan Jujur
“Aku percaya karena yakin, atau karena takut kehilangan?” -
Apakah Hubungan Ini Membuatmu Bertumbuh?
Apakah kamu merasa berkembang, atau justru merasa tertekan dan kehilangan diri sendiri?
Akhirnya, Cinta Tak Harus Membutakan
Berpikir positif bisa menjadi kekuatan, tapi tanpa kesadaran, ia berubah menjadi penjara. Banyak orang terluka bukan karena pasangannya jahat, tapi karena mereka menolak curiga terlalu lama.
Cinta memang memerlukan kepercayaan. Tapi itu bukan berarti mengabaikan kenyataan. Jangan sampai “berpikir positif” membuat kita menerima luka dengan senyuman palsu. Menjaga hubungan bukan berarti mengorbankan logika dan perasaan. Mencintai pun bukan alasan untuk menolak kenyataan.
Sumber: