Kacamata Sosiologi Melihat Penyebab Terjadinya Konflik Antara Masyarakat dan Pemerintah Desa

Diterbitkan oleh Ipan pada Selasa, 25 Oktober 2022 13:42 WIB dengan kategori Opini dan sudah 1.752 kali ditampilkan

Indonesia adalah bangsa yang beragam dengan fondasi sosial ekonomi yang kuat. Di tengah era milenial, isu ketimpangan ekonomi dan eksploitasi sumber daya (SDA) berkembang menjadi sumber konflik, sehingga menjadi perhatian khusus bagi seluruh masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, konflik adalah ketidaksepakatan atau konflik antara orang atau kelompok sosial yang muncul karena perbedaan kepentingan dan berusaha mencapai tujuan lebih lanjut dengan menentang pihak lawan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman. individu, individu dalam kelompok yang sama, atau dalam kelompok yang sama sebagai akibat dari ketidaksepakatan antara para pihak atas tujuan yang ingin dicapai.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan desa sebagai kesatuan geografis yang terdiri dari beberapa keluarga dan memiliki pemerintahan daerah sendiri yang dijalankan oleh seorang kepala desa. Secara berkala, sejarah komunitas didokumentasikan. Dari segi ekonomi, sosial, dan politik cukup dinamis. Dalam politik, keberadaan desa kini berfungsi sebagai perwakilan lokal negara. Pada kenyataannya, kota ini kadang-kadang berfungsi sebagai pusat politik bagi semua pemerintah yang berkuasa. Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pemerintahan desa (NKRI). Pemerintah desa berfungsi sebagai cabang pemerintahan terkecil yang berinteraksi langsung dengan masyarakat.

Sesuai dengan beratnya masalah, Supohardjo membagi konflik menjadi dua kategori: konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat tergantung pada berat ringannya masalah, sedangkan konflik horizontal terjadi antar masyarakat atau antar lembaga pemerintah. Sifat masyarakat yang demokratis menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Keadilan dan demokrasi dalam masyarakat berjalan seiring dengan cita-cita bersama dan kerjasama yang bersahabat. Kekuasaan umum, gagasan diskusi, dan perwakilan dalam sistem politik semuanya mempengaruhi perilaku demokrasi. Desa dapat menjadi masyarakat proaktif yang terlibat dalam berbagai kegiatan dan pembuatan kebijakan dalam pembangunan dan pemerintahan pedesaan melalui pemerintahan yang demokratis.

Setiadi (2011:361) mengklasifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan konflik menjadi dua kategori, yaitu: 1) Pluralisme horizontal mengacu pada kerangka masyarakat yang majemuk secara kultural, termasuk suku, agama, ras, dan perbedaan, atau pluralisme sosial, termasuk perbedaan dalam pekerjaan dan profesi, seperti petani. Konflik-konflik yang muncul dalam komunitas semacam itu dapat mengakibatkan perang saudara jika tidak ada kesepakatan tentang cita-cita bersama. 2) Pluralisme vertikal, yang mengacu pada struktur sosial bertingkat berdasarkan kekuasaan, kekayaan, dan pendidikan. Karena ada sekelompok kecil orang dengan kekayaan, pengetahuan yang maju, kekuatan yang signifikan, dan otoritas, sementara mayoritas tidak memiliki hal-hal ini atau kurang, pluralisme vertikal dapat menyebabkan konflik sosial.

Kedudukan desa, kedudukan organisasi pemerintahan desa, sumber dana desa, kedudukan perangkat daerah, dan BPD merupakan isu-isu primer dan fundamental yang dimiliki desa dengan pemerintahannya (Badan Permusyawaratan Desa). Akibatnya, perselisihan di masyarakat di masa depan dapat terjadi sebagai akibat dari sifat dan penyebab konflik ini. Karena hampir setiap komunitas, baik di lingkungan perkotaan atau pedesaan, memiliki karakteristik unik dan kapasitas untuk mengakses dan melakukan kontrol atas sumber daya sosial, ekonomi, dan politik. sehingga konflik dalam masyarakat akan dimungkinkan oleh persaingan untuk sumber daya tersebut. Kemungkinan berlanjutnya konflik disebabkan oleh adanya disparitas di antara setiap orang dan kelompok dalam masyarakat pada tingkat sosial, politik, dan ekonomi.

Dahrendorf mengemukakan bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan consensus). Dahrendorf dengan teoritisi konfliknya mengemukakan bahwa masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf pada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis. Dahrendrof memandang konflik dengan tiga tipe besar kelompok yaitu kelompok semu, kelompok kepentingan dan kelompok konflik.

Minimnya dukungan sarana kinerja di desa menjadi akar permasalahan di wilayah pemerintahan desa. Badan Permusyawaratan Desa belum bekerja secara maksimal dalam memenuhi tugasnya menampung aspirasi masyarakat. Pemerintah desa harus berperan dalam memberdayakan masyarakat dan memberikan arahan yang baik kepada masyarakat mengenai tujuan pembangunan yang akan dilaksanakan, karena peran lembaga pemberdayaan dalam mendukung pemerintahan desa belum dimanfaatkan. Dalam rangka menyukseskan pembangunan dan Menyelenggarakan Pemerintahan Desa yang meliputi penyelenggaraan pemerintahan, penetapan peraturan desa, pembinaan pertanahan, pembinaan ketentraman dan ketertiban, serta pelaksanaan proyek kemasyarakatan, masyarakat berperan dalam memberikan gagasan, tenaga, dan harta benda.

Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa persoalan-persoalan seperti kedudukan desa, kedudukan organisasi pemerintahan desa, sumber keuangan desa, kedudukan perangkat desa, dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa) patut dipersalahkan. konflik antara pemerintah desa dengan masyarakat karena dukungan desa terhadap sarana pertunjukan masih sangat minim. Badan Permusyawaratan Desa belum bekerja secara maksimal dalam memenuhi tugasnya menampung aspirasi masyarakat. Karena dukungan lembaga-lembaga pemberdayaan terhadap pemerintahan desa belum sepenuhnya dimanfaatkan, kemungkinan konflik masih dapat muncul sebagai akibat dari kesenjangan sosial, politik, dan ekonomi antara setiap orang dan kelompok dalam masyarakat. Bentuk konflik meliputi metode penyelesaian konflik.

Nama : Kurniati Ningsih

Prodi : Sosiologi

Universitas Maritim Raja Ali Haji

Daftar referensi:

Anas, S., Dewi, S. F., & Indrawadi, J. (2019). Faktor-faktor Penyebab Konflik Tanah Ulayat antara Peladang Pendatang VS Masyarakat Adat di Desa Tamiai Kabupaten Kerinci. Jurnal Sosiologi Reflektif, 14(1), 131-150.

Mujahiddin, M., & Mahardika, A. (2018). Analisis Potensi Konflik antara Pemerintahan Desa dan Masyarakat Pasca Berlakunya UU No. 6 Tahun 2014 (Studi Kasus pada Desa Paya Geli Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang). Warta Dharmawangsa, (55).

Setyaningrum, C. A., & Wisnaeni, F. (2019). Pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 1(2), 158-170.